Beranda Opini PROSPEK KONSOLIDASI DEMOKRASI DI TAHUN POLITIK

PROSPEK KONSOLIDASI DEMOKRASI DI TAHUN POLITIK

HERALDMAKASSAR.COM – JENDELA TAHUN 2018 segera tertutup rapat2, berganti tahun 2019, tahun yang secara total penuh dengan agenda politik bangsa. Karena itu, tahun 2019 identik dengan tahun politik. Maka tak heran, jika menjadi fokus perhatian anak bangsa karena untuk pertama kalinya sejarah bangsa Indonesia melaksanakan pemilihan secara serentak pada tanggal 17 April 2019 .

Bahkan, tahun 2019 dianggap merupakan tahun yang sangat menentukan dalam perjalanan konsolidasi demokrasi di Indonesia. Untuk pertama kali, para pemilih nantinya akan mencoblos lima surat suara sekaligus di tempat pemungutan suara. Kelima surat suara itu di peruntukkan memilih anggota DPRD tingkat kabupaten/kota, anggota DPRD tingkat Provensi, anggota DPR RI, anggota DPD.RI, serta calon presiden &wakil presiden .

Oleh sebab itu, penting bagi kita mencermati &menganalisis prospek konsolidasi demokrasi di tengah peluang &tantangannya di tahun depan. Proses pemilu itu merupakan penegakan konstitusi & sirkulasi elite yang akan menentukan agenda2 pembangunan hukum, ekonomi,.politik, sosial, budaya, pertahanan/keamanan. Namun, pada intinya, goal dari kesemuanya itu adalah mewujudkan kesejahteraan rakyat .

Itulah sebabnya, jauh2 hari: Vilfredo Pareto dalam tulisannya, The Circulation of the Elite, memberi catatan penting bahwa sirkulasi elite itu selalu bersifat resiprokal dan mutual interdependence atau punya ketergantungan bersama. Dalam artian, jika prosesnya baik,berkualitas, dan berintegritas. Maka tentu saja, potensi untuk melahirkan para pemimpin transformatif yang bisa menggerakkan perubahan secara bersama’sama memiliki peluang &kesempatan lebih besar .

Dengan demikian, akan berkorelasi positif dengan berbagai piranti kelembagaan demokrasi Indonedia, karena para elite yang muncul dari produk demokrasi akan otomatis mengisi posisi penting sebagai presiden, wakil presiden,.anggota legislatif, dan senator yang akan memperjuangkan aspirasi rakyat daerah .

Bangsa Indonesia, pada akhirnya akan dihadapkan kembali pada fenomena demokrasi, hukum, & moral. Betapapun, politik hukum kita jelas masih memisahkan moral dari kekuasaan. Padahal, kekuasaan tanpa moral akan menimbulkan tirani. Demikian juga perburuan kekuasaan harus berbarengan dengan hukum, etika &moral. Sebab seperti yang dipahami, sifat kekuasaan itu menggetarkan (tremendum) dan memesona (fascinosum). Karena itulah sebuah kekuasaan yang tak dihayati dengan benar akan “memabukkan” sehingga acapkali terjadi penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) .

Maka, mengulas perkembangan demokrasi, tentu ada baiknya membuka kembali lembaran tulisan sang Proklamator Bangsa Bung Hatta. Dalam risalah bertajuk “Demokrasi Kita” (1960). Bung Hatta menulis: “Demokrasi bisa tertindas sementara karena kesalahannya sendiri, tetapi setelah ia menjalani cobaan yang pahit, ia akan muncul kembali dengan penuh keinsyafan”. Namun, pada kenyataannya, perjalanan demokrasi kita dua dekade sejak Reformasi 1998 sampai sekarang rupa2nya belum tiba pada titik tahap “penuh keinsafan” itu. Selamat memasuki tahun 2019 .

Oleh: DR H.ABUSTAN