Beranda Politik Rekomendasi Panwaslu Bukan Diskualifikasi, Praktisi Hukum: Rekomendasi Jangan di Obral Agar Tak...

Rekomendasi Panwaslu Bukan Diskualifikasi, Praktisi Hukum: Rekomendasi Jangan di Obral Agar Tak Picu Konflik

POJOK-SULSEL.com, MAKASSAR – Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Prof Dr Aminuddin Ilmar meluruskan informasi yang berkembang bahwa rekomendasi Panwaslu ke KPU Parepare, adalah diskualifikasi pasangan calon Wali Kota-Wakil Wali Kota, Taufan Pawe-Pangerang Rahim.

Menurut Prof Aminuddin Ilmar, rekomendasi yang diterima KPU dari Panwaslu Parepare tidak serta merta merupakan rekomendasi pembatalan calon. Namun rekomendasi itu, untuk melakukan pengkajian ulang secara cermat dan membuktikan secara gamblang, atas dugaan pelanggaran administrasi yang dilakukan Petahana, Taufan Pawe.

“Rekomendasi itu tidak selalu pembatalan calon, hati-hati berargumen. Tidak mudah menentukan pelanggaran yang dilakukan petahana karena ukurannya harus jelas. Program itu dilakukan tidak dalam konteks pemerintah kota,” ingat Prof Aminuddin yang dihubungi lewat telepon, Selasa, 1 Mei 2018.

Pakar hukum tata negara dan administrasi pemerintahan Unhas ini menekankan, semua pihak harus menyikapi dengan bijak setiap permasalahan, bukan berdasarkan kepentingan.

“Ini harus dicermati, apalagi isi rekomendasi itu pasal 71 ayat 3, bukan ayat 5 yang berisi rekomendasi diskualifikasi,” urainya.

Hal senada juga diungkap Praktisi Hukum Pemilu nasional, Ahmad Irawan. Ahmad Irawan berpedapat, putusan atau rekomendasi pembatalan calon bagi petahana harus dicermati sedetail mungkin.

“Harusnya keputusan atau rekomendasi tidak diobral seperti itu dan penanganan permasalahan hukum pemilu harus ditangani secara hati-hati dan akuntabel agar tak memicu konflik di tengah-tengah masyarakat dan dapat mengganggu tahapan penyelenggaraan pemilu,” tutur Irawan.

Sebab itu, kata dia, penyelenggara dan pengawas pemilihan harus hati-hati dalam mengelola tahapan atau menangani setiap permasalahan hukum pemilu yang dilaporkan.

Lebih lanjut, Irawan mengatakan, norma yang mengatur larangan kepada petahana untuk melakukan mutasi enam bulan sebelum pencalonan dan setelah terpilih dalam pemilu serta menggunakan kewenangan, program dan kegiatan yang menguntungkan atau merugikan salah satu paslon dalam waktu enam bulan sebelum penetapan pasangan calon sampai dengan penetapan pasangan calon terpilih, merupakan larangan yang sangat berlebihan alias eksesif.

Sebab, menurut dia, pembatasannya terlalu mencampuradukkan wilayah pemerintahan daerah dan teknis penyelenggaraan pemilu.

“Percampuran keduanya berpotensi membuat pemerintahan daerah tidak efektif dalam penyelenggaraan pemilu. Kedudukan pasangan calon petahana ditarik dalam posisi tidak setara karena posisinya berada dalam perangkap pembatalan sebagai peserta pemilu,” ujar Irawan.

Selanjutnya, selain mengatur secara eksesif, juga tak jelas apa yang dimaksud dan apa yang menjadi ukuran penggunaan kewenangan, program dan kegiatan telah menguntungkan calon petahana.

Menurut dia, definisi menguntungkan sangat subyektif, bersifat asumsi dan proses penilaiannya yang diserahkan pada pengawas pemilihan sebagai penilai tunggal berpotensi menciptakan keputusan yang otoriter dan membuat pemilu menjadi tidak demokratis.

Sebelumnya, Ketua Panwaslu Parepare Muh Zaenal Asnun mengatakan, berdasarkan hasil penelitian dan pemeriksaan terhadap laporan yang masuk dan hasil kajian pengawas pemilihan diteruskan ke KPU Parepare untuk dipelajari.

“Jadi ditemukan memenuhi unsur pasal 188 juncto pasal 71 ayat 3 undang-undang nomor 10 tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. Sehingga kita teruskan laporannya ke KPU untuk dipelajari. Sesuai aturan, KPU punya waktu selama tujuh hari untuk mempelajari laporan yang kita teruskan itu,” kata Zaenal.

Kajian Panwaslu yang diteruskan ke KPU adalah dugaan pelanggaran administrasi pasal 188 juncto pasal 71 ayat 3 yang isinya Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota dilarang menggunakan kewenangan, program, dan kegiatan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon baik di daerah sendiri maupun di daerah lain dalam waktu 6 (enam) bulan sebelum
tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan penetapan pasangan calon terpilih. Tidak menyebutkan sanksi diskualifikasi atau pembatalan pasangan calon.

Sanksi hanya disebutkan pada ayat 5, yang isinya, dalam hal Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota selaku petahana melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), petahana tersebut dikenai sanksi pembatalan sebagai calon oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota. (rilis/pojoksulsel )