Terasa tidak adil bagi Argentina. Di tengah dominasi mutlak hingga 72%, Argentina harus rela kehilangan dua poin berharga di laga pembuka kontra Islandia, negara debutan di Piala Dunia 2018. Laga pun berkesudahan 1-1. Tidak ada yang aneh. Pemain Argentina bermain cemerlang dengan aliran bola yang mengalir sporadis sepanjang 2 x 45 menit. Messi cs mengurung habis pertahanan lawan yang terlihat menumpuk pamain di area penalti. Sungguh sulit menembus barikade pertahanan seperti itu. Tapi sudahlah, yang lalu, lupakan, karena hidup itu bergerak maju ke depan, bukan mundur ke belakang. Tetap fokus pada laga berikutnya.
Data statistik terkadang tidak berbanding lurus dengan hasil. Argentina harus puas berbagi angka 1 dengan Islandia. Kiamat? Tentu tidak, tapi yang sinis kepada Argentina dan Messi, tetap mengatakan itu kiamat. Akhir dari segalanya. Maka mengalirlah bully-an sampai nama Cristiano Ronaldo disebut-sebut. Padahal laga ini tidak ada kaitannya sama sekali dengan megabintang Portugal itu. Lagian Hattrick Ronaldo “hanya” memberi poin satu untuk negaranya. Sama dengan Messi yang gagal penalti. Hattrick Ronaldo berbuah 1 point, penalti gagal Messi juga berbuah 1 point. Apanya yang harus dibanggakan.
Kalau kita flashback jauh ke belakang, maka ada banyak kisah minor Piala Dunia yang berakhir sukses. Piala Dunia 1990, Argentina hadir sebagai juara bertahan. Semua gentar dengan nama besar Argentina karena ada sosok pemain terbaik bernama Diego Armando Maradona di sana. Tapi apa yang terjadi kemudian? Dunia geger. Argentina tumbang di laga pembuka kontra Kamerun, negara debutan, dengan skor tipis 0-1. Apakah laju Argentina terhenti? Tidak! Argentina terus melaju hingga laga puncak, meski kemudian Argentina kalah di final oleh Jerman (Barat) via gol tunggal Andreas Brehme.
Belum hilang di ingatan kita, bagaimana Portugal yang datang ke Euro 2016 bersama nama besar Ronaldo. Meski tidak diunggulkan, tapi Portugal mampu keluar sebagai juara. Apakah langkah Portugal mulus hingga ke tangga juara? Tidak! Portugal melewati fase grup dengan 3 kali meraih hasil imbang. Itu pun Portugal lolos “dibantu” oleh adanya regulasi baru yang dikeluarkan UEFA. Portugal finish di peringkat ketiga fase grup, tapi bisa lolos dengan adanya aturan baru. Sepak bola adalah misteri. Sesuatu yang belum pasti, tidak usah diperdebatkan. Mari belajar menjadi manusia yang respek kepada siapa saja, sekalipun dia itu rival.
Respek tidak menjadikan kita hina di hadapan orang. Malah menjadikan kita mulia di hadapan Tuhan. Jika mereka tidak berbakat menjadi manusia yang respek, ya jangan ikuti. Biarkan mereka mengalir dengan segala “nyanyiannya”. Ujar-ujaran berikut ini selalu menjadi alarm buat saya pribadi: “Jika keburukan dibalas dengan keburukan, lalu kapan berakhirnya keburukan itu”. Kalau mereka tidak bisa respek, kenapa kita harus takut untuk berubah menjadi manusia yang senantiasa menghargai setiap keringat lawan yang jatuh di area lapangan.
Kenapa sih kita harus repot-repot respect kepada orang lain? Karena tidak ada yang lebih hebat selain Allah Swt. Ketika kita menghormati sekecil apapun kehebatan seseorang, itu artinya kita belajar untuk rendah hati. Kerendahan hati akan membawa kita kepada satu sikap, bahwa kita merasa tidak hebat dan masih harus banyak belajar. Kerendahan hati adalah pusaka kehidupan dan wajib kita memilikinya, karena yang patut dan pantas untuk ditinggikan hanyalah Allah Swt. Saya kira inilah ujian kesabaran yang paling indah. Bravo Argentina.
Lukman Hamarong
Kasub. humas Pemkab Luwu Utara