Oleh: Armin Mustamin Toputiri
Pertengahan 2014, sepekan pasca pelaksanaan Pemilu Legislatif, di aula Hotel Clarion (Claro), KPU melaksanakan rekapitulasi perolehan suara. Menunggu hasil rekapitulasi, saya dan sekian legislator provinsi dan pusat dari beragam parpol, memilih kongkow-kongkow di cafetaria guna melepas lelah usai berbulan-bulan berburu dukungan suara rakyat sebagai caleg.
Di sela gurau dan canda, Akbar Faisal, legislator pusat yang dikenal vokalis itu, mengalih bicara sedikit serius, diamini legislator lain. Akbar mengajukan pertanyaan kepada saya, bagaimana sistem perkaderan dilakukan di internal Partai Golkar. Saya bertanya balik, sepenting apakah pertanyaan itu saya jawab dan jelaskan.
Akbar mengaku rasa ingin tahunya sangat dalam. Berdasar pengalaman satu periode menunai amanah sebagai Anggota DPR-RI, banyak tahu kapasitas dan kiprah kader Partai Golkar di FPG. Seragam menunjukkan kepiawaian yang matang mengelola konflik. “Kita baru merencana gerak bidak catur dua hingga tiga langkah, tapi anggota FPG perencanaanya telah melampaui sepuluh langkah”, jelasnya.
Cara seloroh, saya jawab seadanya, bahwa kenyataan itu semata “Sunatullah” bagi Golkar sebagai parpol tua. Dengan tawa Akbar yang khas, “Sunatullah bagaimana?”, tanya Akbar kian penasaran. Saya jelaskan, sebagai parpol tua, Golkar telah beranak pinak. Memiliki kader yang telah berlapis-lapis hingga buyut, bercucu hingga cicit.
Jika semua parpol melaksanakan perkaderannya formal di semua jenjang, sepertinya itu bukan solusi menelorkan kader handal. Justru melalui perkaderan informal jawabannya ditemukan. Tak hanya Akbar yang terperangah, tapi juga mencipta rasa ingin tahu sekian sahabat legislator lain yang ikut berkongkow.
Lanjut saya mengurai, Partai Golkar telah memiliki perkaderan informal yang terwariskan dari para senior yang telah membuyut itu. Tradisi borganisasi, terlebih lagi kultur berpolitik yang khas sebagai warisan pembelajaran dari generasi ke generasi. Dan itulah yang saya maksud “sunnatullah”, tentu belum dimiliki parpol-parpol baru. Kecuali parpol baru itu, mau bersabar menunggu “sunatullah” itu datang juga, sekian puluh tahun berikutnya.
***
Perbincangan dari kongkow-kongkow sekian tahun lalu itu, alih-alih terngiang di benak saya usai mengikuti penghelatan Musda X Partai Golkar Sulsel, 6-8 Agustus 2020, akibat terjegat izin Covid-19, terpaksa di helat di Hotel Sultan Jakarta.
Berbulan-bulan sebelum pelaksanaan, terjadi intrik politik yang kian hari kian memanas. Mata publik sedikit tersita dari berita Covid-19, mengalih pada kisruh internal Partai Golkar. Kenapa media dan publik terjerat, jawabannya tak lebih kurang sama dalih saya jelaskan ke Akbar.
Musda X semakin dicermati, diminati sekian akademisi, juga pengamat politik, tak lain karena aktor utamanya Nurdin Halid. Dia, seperti sekian lainnya yang kali ini saya sebut “Nabi-Nabi”, tak lain adalah kader senior Partai Golkar yang telah memiliki kematangan politik dan otoritas setingkat para “Dewa”, yaitu mereka yang sarat muatan politik terhadap internal Partai Golkar.
Terbitnya surat “diskresi”, bagi yang mau mengerti, bukanlah surat biasa. Malah di penghujung jelang pemilihan ketua, para “Dewa” menyusuli surat sebelumnya melalui surat “rekomendasi” sebagai pamungkas. Kedua surat ujuk-ujuk yang statusnya tak dikenal dalam statuta internal Partai Golkar itu, semacam “surat sakti”.
Dan para “Nabi”, kader senior Partai Golkar, sangat makhfum dan telah maqam mendaras surat semacam itu sebagaimana tradisi dan kultur politik berlangsung di internal Partai Golkar yang telah membuyut itu. Terlebih Nurdin Halid, plt Ketua Partai Golkar Sulsel, tamat tahu isi pesan surat itu. Bahkan, bukan rahasia lagi, seringkali pengide terbitnya surat semacam itu.
Itulah kenapa Nurdin Halid, tak memilih sikap lain selain “musyawarah mufakat” menjadi jalan terbaik, padahal dirinya pemegang kunci, juga secara kalkulatif pemilik vote mayoritas. Dalam genggamannya, seribu jalan bisa saja dia tempuh. Ke mana arah Musda X ini berlabuh, Nurdin selaku nakhoda bisa saja membanting kemudi, berlabuh di bibir muara pelabuhan yang lain. Tapi dipilihnya, secara dramatis malabuhkan biduknya berujung happy ending.
***
Musda X Partai Golkar yang jauh sebelumnya tak dipungkiri diawali intrik politik memanas, lalu di akhiri dengan happy ending, bukanlah peristiwa langka. Kejadian sama, telah berulangkali terjadi di sejumlah tingkatan struktur dan di sejumlah wilayah tanah air. Dalam catatan sejarah Partai Golkar Sulsel, nyaris seluruhnya di akhiri dengan tata cara yang sama, happy ending.
Kejadian sama yang selalu berulang, lamat-lamat mewujud semacam peradaban. Mentradisi dalam kultur politik internal Partai Golkar. Itulah “sunatullah” itu, sebagaimana saya jelaskan kepada Akbar Faisal bersama sekian sahabat legilslator asal partai lain, sekian tahun lalu.
“Sunatullah” itu, mewaris sebagai medium perkaderan informal – bagi mereka yang mau belajar dan menghikmati – dalam pematangan politik para kader Partai Golkar yang diakui oleh Akbar Faisal. Jauh beda bagi parpol baru yang belum memiliki senior-senior yang mewujud “Nabi-Nabi”. Sekalipun para “Nabi” itu, secara fatsun politik juga sunnah bertaat pada fatwa para “Dewa” yang sarat muatan politik itu.
Jika Musda X Partai Golkar Sulsel diawali intrik politik yang memanas, lalu berujung happy ending, menyisihkan pembelajaran politik bahwa seperti itulah idealnya politik praktis jelas Publius Flavius Vegetius Renatius, seorang penulis militer Romawi, “si vis pacem para bellum”. Jika kau mendambakan perdamaian, bersiap-siaplah menghadapi perang.
Hotel Sultan Jakarta, 8 Agustus 2020