Beranda Headline News ANALISIS: Politik Kompromi di Partai Golkar

ANALISIS: Politik Kompromi di Partai Golkar

MASIH soal musda Partai Golkar Sulsel. Meski telah resmi berakhir, tapi tetap saja menarik untuk dicermati. Termasuk soal cara memilih pemimpin barunya.

Meski tergolong tak biasa, sebab selama ini Golkar selalu memggunkana aklamasi. Boleh jadi, inilah kali pertama Golkar Sulsel menetapkan ketua defenitif dengan pola  “musyawarah mufakat”.

Pola ini, tidak lagi melibatkan voters yang berjumlah 30 suara itu untuk berpartisipasi memilih pemimpin. Melainkan, “musyawarah mufakat” hanya dilakukan empat kandidat yang bersaing meraih kursi ketua.

Kelihatannya sangat sederhana dalam menetapkan sosok pengendali Golkar Sulsel. Sebab, tidak lagi perlu menggalang suara voters, tidak ada penyampaian visi dan misi,  dan yang lebih penting lagi, dipastikan tidak mungkin ada politik uang.

Sebab, politik uang  akan lahir dari perebutan suara pemilih.  Ada transaksi antara pemilih dengan kandidat.

Sementara pada pola “musyawarah mufakat”, domainnya hanya ada pada kandidat, bukan pada voters.  Pendek kata, voters tidak lagi memiliiki peran apa-apa dalam menentukan pemimpinnya.

Berbeda dengan aklamasi. Aklamasi dilakukan jika mayoritas voters atau minimal 50 + 1, menyetujui kandidat tertentu. Sementara voting dilakukan jika tidak ada titik temu untuk menentukan sebuah keputusan.

Pola Partai Golkar yang menggunkan  “musyawarah mufakat”  pada musda kali ini, bisa jadi untuk meredam munculnya benih perpecahan di kalangan pengurus dan kader.

Berkaca pada fakta ril musda Sulsel, jika Golkar memaksakan diri menggelar voting untuk menentukan ketua defenitif, boleh jadi pemenangnya bukanlah Taufan Pawe.

Sebab hingga hari pelaksanaan musda, dukungan suara condong  ke Supriansa, sosok muda Partai Golkar.  Selain Supri, Hamka B Kadi juga nemiliiki kans kuat merebut voting.

Dua sosok inilah yang memang sejak awal sangat intens membangun komunikasi politik di DPD II Kabupaten dan kota.

Saat pleno yang membahas soal dukungan DPD II, forum sempat memanas. Khususnya soal dukungan ganda. Namun, Nurdin Halid menengahi masalah ini dengan cara meloloskan semua kandidat.

Keempat kandidat yang lolos itu, diserahkan ke Ketua Umum Airlangga Hartarto. Namun Airlangga melampar lagi bola panas itu ke peserta musda. Ia menolak menentukan ketua terpilih.

Akibatnya, empat nama, yakni Supriansa, Hamka B Kadi, Taufan Pawe dan Syamsuddin Hamid justru diminta untuk bermusyawarah mufakat guna menentukan ketua defenitif.

Keempatnya lalu menggelar pertemuan di kamar Nurdin Halid di Hotel Sultan Jakarta. Mereka ditanya satu per satu. Pertanyaannya kira-kira begini: siapa diantara kaiian yang paling siap  jadi Ketua DPD I?

Tentu, kedengarannya sangat adem. Bertolak berlakang dengan suasana musda di lantai 1 yang cenderung mulai panas.

Hamka B Kadi yang adalah orang pertama yang ditanya. Jawabannya, Hamka nengaku tetap akan fokus di DPR. Ia menang anggota DPR RI dari dapil 1 Sulsel.  Mendegar jawaban Hamka itu, sudah pasti Hamka menolak jadi punggawa Golkar Sulsel.

Selanjutnya, giliran Supriansa. Sama dengan Hamka, Supri juga mengaku akan fokus di Senayan. Dengan kata lain, Supri juga menolak.

Karena, dua kandidat ini menolak,kabarnya, DPP tidak lagi bertanya ke Taufan Pawe. Tapi mendaulat Taufan untuk jadi ketua. Taufan dinilai masih punya energi politik untuk bertarung di Pilgub 2024.  Sebagai partai besar, Golkar memiliki kepentingan agar kadernya bisa unjuk taring di kontestasi gubernur.

Agar keputusan ini kelihatannya happy ending, ditunjuklah Supriansa sebagai juru bicara para kandidat.  Yang luar biasa, Supri tampil di forum akhir musda membacakan keputusan yang menunjuk rivalnya sebagai ketua definitif.  Supri berjiwa besar mengumumkan “kemenangan” sang lawan.

(MUKHRAMAL AZIS)