SULIT Kita pungkiri dalam kehidupan ini ada saja orang-orang yang dalam pikirannya tidak bebas nilai dan didominasi atau dipengaruhi oleh subyektivitas sehingga selalu merasa benar vs kebenaran apa lagi jika dilihat dari hasil Pilkada yang sangat sarat akan kepentingan.
Sehingga kami terdorong mencoba membentangkan secara gamblang tentang kasus Pilkada yang mencuat sekarang ini di Kota Parepare.
Dengan kasus sebagai berikut:
1. Selisih perolehan suara
A. Versi KPU dan PANWAS suara sah sebanyak 78.074 dengan kemenangan paslon 01
B. Versi paslon 02 suara sah 50.474 dengan kemenangan paslon 02
Dari perolehan suara tersebut bermuara pada Daftar Pemilih Tetap (DPT) sejumlah 95.147 Pemilih dengan toleransi 2.5% pemilih tambahan non DPT. Sehingga jumlah maksimal pemilih adalah 97.526 pemilih.
“Fakta di lapangan, hasil perhitungan suara versi KPU, 78.074 + 845 (surat suara batal) lalu versi paslon 02 sebanyak 50.474 tanpa temuan surat suara yang batal,” kata Wakil Ketia PC 1912 FKPPI Parepare, H. Amran Ambar. 8 Juni 2018.
Pertanyaannya kemudian, kata dia,
apakah terjadi penggelembungan suara jika DPT dan DPT tambahan sejumlah 97.526 sementara hasil perhitungan hanya berjumlah 78.919?
Lalu, apakah angka partisipasi pemilih di Parepare benar cuma kurang dari 53 persen?
Tuduhan menyangkut adanya pemilih tambahan yang disinyalir tidak tercatat pada formulir A.Tb-KwK pada TPS 14 Kelurahan Lumpue Kecamatan Bacukiki Barat, menurut Amran Ambar, kasus itu nyata merupakan kesalahan yang patut dipertayakan apa yang melatar belakanginya.
Tuduhan soal ditemukan adanya terbongkar dan tidak tersegel kotak suara. Ini juga merupakan pelanggaran.
“Namun adakah selisih suara yang telah ditandatangani oleh para saksi, Panwas, PPK, KPPS juga pada kertas perhitungan suara yang disaksikan lebih banyak masyarakat. Kenyataannya tidak ada,” tutur dia.
Pertanyaannya lagi?
Adakah keberatan saksi dan Panwas di TPS itu?. Adakah temuan perbedaan proses perhitungan dari setiap TPS hingga di KPU yang dilaksanakan oleh seluruh komponen yang terkait?
“Sampai sejauh ini kan tidak ada,” katanya.
Soal dugaan mobilisasi massa dengan memasukkan pemilih tanpa identitas dan cacat administrasi berdampak pada cacat hukum secara mutatis mutandis. Jika ada dugaan ke mana para saksi paslon di TPS namun dapat dilakukan verifikasi faktual di lapangan berupa temuan bukan dengan alibi.
Pertanyaan kritis, petugas dari Panwas dan stakeholders yang terkait telah beberapa hari menelusuri dari rumah ke rumah. Apakah hingga kini sudah ditemukan pemilih siluman?
“Lagi-lagi sampai sejauh ini tidak ada ditemukan pemilih siluman,” ucapnya.
Persolan Suket dan KTP-el sebagai diduga penyebab kekalahan salah satu paslon, lanjut Amran Ambar, Disdukcapil bukan pelaku, pelaksana apalagi pengelola Pilwalkot dan wakil wali kota, namun sudah menjadi Tupoksi untuk memberikan perlindungan dan membahagiakan masyarakatnya dengan menerbitkan segala dokumen kependudukan masyarakat tanpa terkecuali.
“Dokumen yang ditebitkan tersebut termasuk Suket untuk menjadi dasar rujukan hampir semua pengurusan seperti pembelian kartu perdana HP, BPJS, tiket, pasport, kredit pembukaan rekening, termasuk mengikuti pesta demokrasi. Sehingga dapat diyakini Suket dan KTP-e produk Disdukcapil Parepare dipastikan tidak ganda dan berpenduduk Parepare secara yuridis,” jelasnya.
Sekarang ini hampir semua lembaga di Indonesia termasuk lembaga keuangan, BPJS, Polri, KPU, Bawaslu, Imigrasi telah bekerjasama (melakukan MoU) untuk pemanfaatan data kependudukan secara nasional bersama Dirjendukcapil.
“Sehingga untuk mendeteksi valid tidaknya sebuah KTP dan Suket sangatlah mudah,” tutup Amran Ambar.