Oleh: Abustan
Hari-hari ini dan kedepan kita akan menyaksikan betapa sibuknya negara mengatur dan mengendalikan “lalu lintas” perpolitikan di tanah air.
Meskipun, bangunan negara dalam sejumlah studi sudah ditulis dan dielaborasi oleh berbagai ahli. Baik itu perdebatan – perdebatan tentang negara yang dikendalikan oleh social contract secara bersama-sama maupun sudut pandang pemikiran lain dalam menjejali konsep yang bernama negara.
Bahkan, bayangan tentang negara berbeda dengan bayangan tentang bangsa sebagaimana yang dikemukakan oleh Anderson dalam “imagine community” adalah bayangan akan sebuah mahluk raksasa.
Tatkala diilhami cerita atas fenomena politik dengan mengatur individu-individu agar tertib sehingga ada keseimbangan sosial dalam masyarakat. Karena itu, kehadiran negara memformulasikan relasi – relasi sosial, men-driver setiap hubungan sosial dan meletakkannya dalam titik equilibrium yang equal.
Dengan demikian, negara adalah tempat “gagasan” di pertaruhkan, kekuasaan diperebutkan, kebenaran dikawinsilangkan, dan yang pasti adalah arena untuk menakar dan menimbang kualitas pemimpin ke depan.
Dalam konteks itulah sehingga dalam demokrasi, keberadaan partai-partai politik merupakan suatu keniscayaan.
Secara umum, dalam definisi yang dikemukakan Miriam Budiarjo partai politik adalah suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama dengan memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik dengan cara konstitusional guna melaksanakan kebijakan-kebijakan negara.
Fakta lain, tak dapat diingkari bahwa perkembangan politik terkini adalah eksperimentasi demokrasi di tanah air mengalami ujian yang sangat berat, manakala elite politik berlomba-lomba sangat mengedepankan pragmatisme politik.
Padahal, idealnya para elite politik sangat diharapkan mampu menciptakan iklim demokrasi yang sehat, dan mampu mengejawantahkan “demokrasi substansial”.
Selain itu, perlu pula ditanamkan suatu persepsi yang benar bahwa demokrasi tidak semata-mata merupakan masalah politik dan merebut kekuasaan eksekutif (Presiden).
Tetapi yang lebih mendasar / mendesak adalah bagaimana pemimpin terpilih (presiden) mampu mengikis habis faktor ketidakadilan sosial yang berwujud pada ketimpangan ekonomi, dan ketidakadilan dalam proses penegakan hukum. Dan, itulah sesungguhnya yang harus menjadi titik pertarungan gagasan dan perhatian (komitmen) para kandidat (ke tiga Capres) pada pemilu 2024.
Abustan: Dosen/Pengajar Ilmu Hukum Universitas Islam Jakarta