TIDAK tanggung-tanggung pemerintah mengeluarkan tiga regulasi sekaligus untuk melawan covid 19. Ketiga regulasi tersebut, pertama, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan.
Kedua, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam rangka Percepatan Penanganan Covid-19 dan ketiga Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Covid-19 kemudian ditindaklanjuti dengan Permenkes, akan tetapi harus diakui bahwa langkah pemerintah memang sangat birokratis.
Pemerintah Kota Makassar akhirnya mengeluarkan Peraturan Walikota Makassar (Perwali) Nomor 22 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di Kota Makassar Provinsi Sulawesi Selatan (17/4/2020). Perwali ini adalah turunan dari Peraturan Pemerintah (PP) No 21/2020 tentang PSBB dan Peraturan Menteri Kesehatan No 9/2020 tentang Pedoman PSBB dalam rangka percepatan penanganan virus corona (Permenkes PSBB).
Dalam praktiknya birokrasi masih tetap menunjukkan watak asli pemerintah yang berbelit-belit dalam prosedur dan penetapan status PSBB. Dengan pemerintah menetapkan status Kedaruratan Kesehatan seharusnya juga dibarengi dengan tindakan dan cara yang darurat akan tetapi kita tidak melihat adanya hal tersebut. Sebagai contoh dalam hal kebijakan pemerintah, harusnya pemerintah “menerobos” kebijakan tersebut karena kelambanan birokrasi yang ada. Yang dibutuhkan sekarang bukan seberapa banyak regulasi apalagi himbauan-himbauan yang ada akan tetapi seberapa efektif kegunaan/kemanfaatan sebuah regulasi yang ada untuk memperlambat atau mencegah penyebaran virus covid19 yang semakin meluas.
Namun sangat disayangkan karena implementasi dari PP 21/2020 subtansinya hanya sebatas mengatur tentang PSBB dalam lingkup percepatan covid19. Padahal kalau ditelaah lebih jauh dalam UU Kekarantinaan sangat berbeda. (Vide UU 6/2018). Ruang lingkup karantina (rumah, rumah sakit, wilayah) serta Pembatasan Sosial Berskala Besar sebenarnga sudah sangat bagus. Tidak boleh parsial seperti sekarang pemberlakuan PSBB hanya sebatas slogan dimana memunculkan berbagai asumsi dari masyarakat tentang pemerintah lari dari tanggung jawab untuk menjamin kebutuhan dasar orang yang berada disuatu wilayah. (Vide pasal 55 ayat (1) UU 6/2018).
Legitimasi hukum dalam PP tentang PSBB memerlukan pengaturan tindak lanjut sebagai payung hukum diwilayah yang mengajukan PSBB. Dalam ketentuan tersebut harus mendapat legitimasi dari Menteri Kesehatan dalam hal status PSBB. (Vide pasal 2 ayat (1), pasal 5 ayat (1), dan pasal 6).
Akhirnya pemberlakuan PSBB di daerah hanya bersifat formalitas kalau kita melihat beberapa pergub, perwali dan perbup sebagai tindak lanjut dari persetujuan menteri kesehatan tentang status PSBB hampir semua seragam yang berbeda hanya tenggang waktu masing-masing daerah. Sebagai contoh di Makassar pemberlakuan PSSB selama dua pekan dan dapat diperpanjang dengan melihat situasi dan kondisi penyebaran virus.
Aturan ini menyatakan bahwa pembatasan aktivitas luar rumah dalam pelaksanaan PSBB meliputi hal-hal berikut:
1. Pelaksanaan pembelajaran di sekolah dan/atau institusi pendidikan lainnya;
2. Aktifitas bekerja di tempat kerja;
3. Kegiatankeagamaan di rumah ibadah;
4. Kegiatan di tempat atau fasilitas umum;
5. Kegiatan sosial dan budaya; dan
6. Pergerakan orang dan barang menggunakan moda transportasi.
Adapun kegiatan-kegiatan berikut ini dikecualikan dari pembatasan aktivitas di luar rumah.
1. Kantor- kantor pemerintah pusat dan daerah tertentu
2. Kantor perwakilan negara asing atau organisasi internasional
3. Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang memenuhi kebutuhan pokok masyarakat
4. Pelaku usaha di sektor kesehatan, energi, komunikasi dan teknologi informasi, keuangan, logistik, perhotelan, konstruksi, industri strategis, pelayanan dasar, utilitas publik dan industri yang ditetapkan sebagai objek vital nasional dan objek tertentu dan/ atau kebutuhan sehari-hari.
Tentunya dengan melihat keseragaman dari regulasi masing-masing daerah sebagai tindak lanjut dari persetujuan PSSB dari Menteri Kesehatan hanya sebatas formalitas belaka.
Dibalik dari banyaknya aturan dan himbauan PERWALI Kota Makassar tentang PSBB akan diuji apakah efektif atau tidak.
Dengan demikian dukungan masyarakat semakin baik serta petugas yang semula banyak dikerahkan mengawasi kepatuhan terhadap PSBB dikatakan efektif apabila aparatnya turut konsisten dalam menegakkan hukum dan masyarakat yang mendapat aturan (PERWALI) ini dapat mendukungnya dengan penuh kesadaran.
Akhirnya semoga semua ikhtiar ini dapat memutus penyebaran virus Covid-19 atas izin Yang Maha Kuasa, sehingga kehidupan sosial-ekonomi masyarakat menjadi normal kembali.
Selamat Ramadhan..!
Sulaiman Syamsuddin
Parktisi Hukum