KITA sepakati saja secara sederhana, bahwa masyarakat terbagi dalam dua kelas sosial yang besar; kelas menengah dan kelas miskin. Kategori ini diturunkan dari analisis kelas Marxisme yang sangat populer itu. Borjuis dan proletar. Agama memperkenalkan istilah si kaya dan si miskin.
Kategori ini, boleh saja, diperdebatkan batasannya. Tetapi, kali ini, saya ingin menggunakannya untuk melihat respons dua kelas sosial yang berbeda terhadap virus Covid-19.
Faktanya, Covid-19 adalah penyakit kelas menengah. Kelompok yang tertular dan menularkannya pertama kali, adalah warga kelas menengah.
Virus ini menyebar melalui relasi internasional kelompok elit. Atau, paling tidak, adalah mereka yang telah pulang dari perjalanan internasional seperti umrah. Pasien-pasien awal bertipikal ini.
Sebagai contoh, pasien 01 dan 02 di Indonesia, adalah seorang seniman tari di Indonesia yang cukup terkenal di kalangan komunitas seni di Indonesia. Ia terpapar oleh koleganya dari Jepang.
Menariknya, dalam kasus pasien 01 dan 02, pembantu rumah tangganya negatif. Contoh ini semakin terlihat benar ketika menteri perhubungan juga terpapar, plus sejumlah berita di media yang menyebutkan, orang-orang dari warga kelas menengah yang terpapar. Di Sulawesi Selatan, begitu juga polanya.
Nah, yang panik dan merespon dengan semangat adalah, juga kelas menengah. Teriakan “social distancing” atau “lock down” adalah teriakan kelas menengah.
Bahasa asing yang digunakan semakin menegaskan watak kelas menengahnya. Mereka saling mengingatkan untuk ‘menjauhi’ virus ini dengan mengubah tindakan sosial dari intim menjadi berjarak.
Kampanye social distancing bergema di kalangan sesama kelas menengah. Gerakan sunyi dan pendekatan spiritual yang bersifat individual juga menggema dari kelas menengah.
Para agawaman kelas menengah pun kompak untuk meniadakan Salat Jumat. Tujuannya jelas, hifdzun nafs, tentu yang dimaksud adalah nafs kelas menengah.
Tampak dengan jelas, bahwa kelas menengah adalah kelompok sosial yang paling rawan, dan sekaligus paling ketakutan menghadapi virus ini.
Gerakan ini tampak cukup sukses di kalangan kelas menengah. Kampus, sekolah, kantor, bahkan masjid ditutup. Mall, hotel, dan warkop tempat kelas menengah berkumpul mulai sepi. Bahkan, Mall Panakukang Makassar sudah merilis pemberitahuan penutupan sementara.
Tanpa perintah tutup pun, mall pasti tutup. Pengunjung mereka adalah kelas menengah yang sedang mengurung diri di rumah. Justru mereka akan mengalami kerugian besar apabila memaksakan tetap buka. Mereka akan kesulitan untuk menanggung beban operasional tanpa dibarengi pemasukan. Pilihan tutup adalah pilihan sangat rasional.
Kelas Menengah
Dasar kelas menengah. Gerakan social distancing mulai dibarengi dengan panic buying, memborong segala keperluan untuk mencukupi hidup mereka selama 14 hari. Masker, hand sanitizer, vitamin c ludes dari pasar.
Para kelas menengah memburu semua resources untuk menyelamatkan diri tanpa memedulikan warga kelas bawah.
Dengan kekuatan ekonomi yang dimiliki, mereka ‘mengurung diri’ di rumah untuk tujuan memutus mata rantai penyebaran virus.
Para kelas menengah ini kemudian tampil di media sosial sebagai pejuang dan petarung dengan cara tidur, dan bersenda-gurau dengan keluarga. Kalau bosan, menonton Youtube dan membuat status heroik di Facebook.
Kelas menengah tanpa sadar menciptakan dan memelihara ‘suasana horor’. Satu data tambahan positif covid segera dialirkan melalui berbagai Grup Whatsapp. Suasana horor semakin tercipta, dan warga kelas menengah semakin ketakutan.
Sikap kelas menengah yang sedang cari selamat ini terancam dengan sikap acuh kelompok kelas bawah. Kaum proletar ini sama sekali tidak terpengaruh dengan virus Covid. Suasana perkampungan tempat saya tinggal tetap berlangsung ‘normal’.
Virus ini tidak mengubah perilaku sosial untuk mengurung diri. Sebagian dari kelas bawah ini justru menertawakan ketakutan kelas menengah terhadap virus ini. Mengapa kelas bawah terlihat santai? Bagi mereka, virus Covid ini adalah penyakit elite. Dan, para elit itu tidak banyak bergaul dengan rakyat kecuali untuk kepentingan yang bersifat politis.
Jika jawaban dari virus ini adalah social distancing, maka mereka pasti selamat. Bukankah jarak sosial (social distance) sudah lama terjadi? Kaum kelas menengah tidak pernah benar-benar menjalin hubungan sosial kecuali untuk kepentingan politik, ekonomi, dan ritual keagamaan.
Bukankah sebagai kelas menengah, waktu kita sudah tersita oleh kesibukan yang kita ciptakan sendiri melalui rekayasa sistem ekonomi kapitalisme? Bukankah kita hanya bertemu dengan tetangga atau orang miskin ketika mereka datang menawarkan sayuran, ikan, atau undangan pernikahan, akikah, dan kematian?
Kelas Bawah
Alasan lain, warga kelas bawah sudah lama hidup dalam kekhawatiran karena ekonomi. Ancaman untuk kelaparan dan tidak mendapatkan penghasilan adalah ancaman klasik, yang sudah mereka rasakan bertahun-tahun.
Untuk bertahan hidup, warga kelas bawah ini sudah terbiasa ‘berdamai’ dengan penyakit yang ada dalam tubuh. Demam, flu, batuk, tb, asalkan masih bisa berkeringat dan mengangkat batu, mereka pasti keluar rumah. Tinggal di rumah sama saja mempercepat kematian.
Pilihan satu-satunya adalah keluar rumah dan mengais di tengah ketidakpastian. Jadi, ketika kampanye social distancing mulai menggema dari kelas menengah, mereka hanya tertawa dan mengumpat.
Kira-kira begini suara hati mereka, woi kalian minta kami tetap di rumah dengan segala bahasa asingmu untuk menyelamatkan jiwa kalian tetapi kami sendiri akan mati di rumah, siapa yang peduli kami?
Jadi, apabila warga kelas menengah ini benar-benar menginginkan social distancing berjalan, hal yang perlu dilakukan bukanlah stay at home saja tetapi juga mengaktifkan jaminan sosial.
Setiap warga kelas menengah harus bergerak untuk memastikan satu keluarga miskin tidak meninggal dunia karena kelaparan dalam kurun waktu social distancing dengan cara menjamin hidupnya.
Jika egoisme kelas masih bertahan dengan memperhatikan keselamatan sendiri, maka apa yang bisa menahan kelas bawah untuk tetap di rumah sambil menahan perut kelaparan? Jangankan untuk membeli masker dan hand sanitizer yang harganya membumbung tinggi. Membeli beras saja mereka belum tentu bisa.
Bisakah sekarang saatnya kita kampanyekan, “Mari berbagi. Selamatkan hidup mereka untuk menyelamatkan hidupmu!”. Ayo bergerak! (*)
Penulis: Saprillah (Kepala Balai Litbang Agama Makassar)