Oleh: Muhammad Ramli Rahim (Ketua Umum Ikatan Guru Indonesia (IGI) periode 2016-2021)
Dalam sebuah diskusi seorang dosen senior dengan sedih mengatakan bahwa saat ini para guru telah kehilangan idealismenya. Para guru telah terjebak pada pragmatisme dan tidak lagi memiliki spirit perjuangan sebagaimana para guru di zaman lampau.
“Oh, tidak. Itu karena Anda belum bertemu dengan para guru IGI,” Kata saya.
“Guru IGI…?! Apa itu IGI…?!,” tanyanya dengan penuh rasa ingin tahu.
Kemarin saya mengikuti acara pertemuan para pengurus IGI Jawa Timur di Srambang Park Ngawi yang sedang meluncurkan buku “Mengapa Saya Memilih IGI” dan Jurnal “Qualita”. Begitu bertemu dengan mereka suasana yang akrab, hangat, dan penuh semangat perjuangan dan idealisme langsung terasa. Orang-orang ini memang para guru luar biasa.
Penampilan mereka tetap bersahaja sebagaimana penampilan para guru umumnya tapi begitu mereka berbicara maka Anda akan sadar bahwa Anda berhadapan dengan para guru yang benar-benar memiliki semangat juang dan idealism yang menyala-nyala.
Mereka datang dari berbagai kota di Jawa Timur dengan tekad untuk memajukan dunia pendidikan Indonesia, khususnya di Jawa Timur, tanpa instruksi dari mana pun, apalagi biaya. Mereka datang dengan biaya sendiri dengan tujuan menimba ilmu dan berkoordinasi untuk menggerakkan para guru di lingkungan masing-masing.
Ketika saya dulu menolak menjadi anggota Golkar saya diskors selama bertahun-tahun. Tapi saya bertahan demi sebuah idealisme. Saya hendak katakan pada dunia pendidikan Indonesia saat itu bahwa guru adalah sosok pinandito sehingga ia haruslah independen, tidak berpolitik praktis, dan tidak partisan. Guru itu tiang paling utama dari bangsa dan negara sehingga harus tegak dan tidak condong. Tapi saya diskors karena sikap itu.
Tapi Indonesia sudah berubah dan kini sebaliknya apa yang menjadi sikap saya tersebut menjadi sikap dan keputusan negara. Guru sebagai PNS atau ASN tidak boleh berpolitik dan harus netral.
Tapi saat ini memilih IGI bagi sebagian guru masih merupakan sebuah perjuangan.
Di banyak daerah IGI masih dimusuhi, digencet, ditolak, diancam, diintimidasi, dan bahkan dimutasi. Bayangkan…! Di zaman Pendidikan 4.0 masih terjadi penindasan pada guru hanya karena mereka ingin masuk IGI, sebuah organisasi resmi yang diakui oleh pemerintah. Mereka diancam dan diintimidasi oleh para pejabat pendidikan yang berkolusi dengan organisasi guru lainnya yang takut tersaingi oleh IGI.
Sungguh tidak masuk akal bahwa ada organisasi profesi guru yang bersikap seperti zaman Orde Baru yang menggunakan kekuasaan untuk menggencet guru-guru yang tidak ingin masuk ke organisasinya. Ini aneh tapi nyata…
Mengapa para guru ingin masuk IGI…?!
“Saya ingin menjadi bagian dari sejarah kemajuan peradaban, bukan untuk ikut arus sejarah.” Demikian kata Sudarman almarhum, mantan Kasek SMKN 1 Geger Madiun. “Ketika bersama KGI (nama IGI dulu) saya berhasil menjalin kerjasama pengembangan bisnis oli di SMKN 1 Geger Madiun dengan Pertamina. Ini berlanjut dengan kerjasama lain sehingga sekolah saya disebut “SMK Pertamina” dan jumlah siswa kami meledak menjadi dua kali lipat. Ini sebuah sejarah yang tidak pernah dilakukan oleh sekolah mana pun saat itu. Dan itu semua saya peroleh sejak bergabung dengan KGI.”
“Di IGI semua yang berkiprah di dalamnya, saya temukan, adalah manusia-manusia yang terpilih hati nuraninya tanpa pamrih apa pun, apalagi mengharap imbalan uang, untuk saling berbagi dan mengembangkan profesionalismenya,” kata Dra. Riantasih Indriadni, M..Pd, Guru SMKN 1 Surabaya.
“Bergabung dengan IGI ibarat menemukan oase di padang pasir. “ kata Prawoto, guru di SMAN 2 Bojonegoro. “Ada semangat literasi yang selalu dinyalakan dalam tubuh IGI dan itu yang saya sukai,”
“Mengapa saya suka bergabung dengan IGI? Karena gagasan-gagasan yang diwujudkannya begitu riil dan mudah diterima. Teladan-teladan pribadi yang ada di lingkarannya sangat mengagumkan. IGI adalah komunitas guru belajar tanpa henti. IGI itu gudangnya para guru berprestasi,” kata Nurwahyudi, guru SMPN 2 Jogorogo, Ngawi.
“Saya juga semakin sejahtera sejak bergabung dengan IGI. IGI itu menyejahterakan anggotanya. Sejak bergabung dengan IGI saya bertambah ilmu, bertambah teman, bertambah kreatifitas, saya semakin sejahtera,”
“IGI memang keren. Melalui organisasi profesi ini guru benar-benar dapat mengubah dirinya sendiri menjadi lebih professional tanpa harus bergantung pada pihak lain mana pun. Para anggota IGI juga menjadi lokomotif penggerak perubahan bagi bangsa,” Siti Nur Hasanah, guru SMPN 5 Surabaya.
“Menjadi anggota IGI adalah pengalaman yang sangat berkesan bagi guru seperti saya karena kita benar-benar didorong dan dipacu untuk menjadi guru yang sebenarnya guru. Benar sekali ungkapan bahwa ”Who dares to teach must never cease to learn” Berani jadi guru ya tidak boleh berhenti belajar,“ kata Sudarwati.
“Saya jatuh hati pada IGI.” kata Wanda Sulaksono, guru SDN KolursariI, Bangil.”Bagaimana tidak? Lha wong sejak bergabung dengan IGI walau saya masih sukwan waktu itu tapi saya bisa diberangkatkan ke Pusat Pembelajaran Matematika se Indonesia di P4TK Matematika Jogyakarta. Semua orang di kecamatan saya sampai terkejut, kaget, bahkan ada yang marah. “Kok bisa seorang sukwan justru terpilih?” Saya jawab dengan tegas, “Alhamdulillah saya ikut berkat informasi dari IGI, dari sang pelopor kegiatan “Sharing and Growing Together”.
“Sekarang ini setiap tahun saya langganan berangkat ke P4TK Matematika Jogyakarta dan SD saya berhasil menjadi mitra dalam penyelenggaraan seminar pendidikan matematika yang diikuti secara live streaming di seluruh wilayah Indonesia,”
“IGI itu pilihan tepat bagi guru yang ingin menjadi Guru VIP. Apa itu guru VIP…?! Guru yang Visioner, Inspiratif, dan Progresif.” Lilik Masruhah, SMPN 2 Wonoayu, Sidoarjo.
“IGI itu lahir untuk bersinergi dengan siapa saja dan bukan sebagai organisasi tandingan. IGI itu fokus pada upaya untuk meningkatkan profesionalisme guru.. IGI hadir untuk melengkapi, bukan bersaing. IGI adalah cahaya baru yang menerangi perjalanan guru dalam mengantarkan anak didik menuju cita-cita mulia demi bangsa dan negara ini,”.
“Di IGI saya panen banyak ilmu. Banyak pakar yang bergabung di IGI. Segala isu baru dan perubahan dalam dunia pendidikan di Indonesia selalu dibahas dan didiskusikan dengan seru di IGI. Hal ini kemudian saya sebarkan pada teman-teman sehingga saya menjadi ‘papan pitakonan’ alias tempat bertanya teman-teman. Bukan hanya teman-teman satu sekolah dan MGMP tapi juga teman-teman lain yang tidak semapel. Karena bergabung dengan IGI maka saya bisa menjadi narsum K 13 di MGMP,“ Rohani Cahya, SMAN 1 Balen.
“Semua teman di IGI itu seperti keluarga yang bikin betah. Bergabung dengan IGI serasa mendapatkan paket komplit yang patut disyukuri,”.
Ada 40 lebih guru IGI Jatim yang menuliskan alasannya mengapa mereka memilih IGI dalam buku ini. Saya hanya mengutip beberapa di antaranya. Dan itu semuanya membuat saya benar-benar dilanda oleh rasa haru dan syukur yang tidak terhingga.
Mata saya benar-benar basah membaca buku ini. Buku yang benar-benar ditulis dari hati para guru yang merasakan nikmatnya menjadi bagian dari organisasi profesi guru yang bernama IGI. IGI yang dulunya bernama Klub Guru Indonesia ini ternyata sekarang benar-benar menjadi sumber inspirasi untuk menghidupkan semangat dan nyala api idealisme para guru se Indonesia.
Pendidikan adalah senjata paling ampuh untuk mengubah dunia, demikian kata almarhum Nelson Mandela, mantan Presiden Afrika Selatan. IGI adalah organisasi profesi guru yang sangat nyata perannya dalam mengubah dunia pendidikan di Indonesia.
Selamat untuk IGI. I love you very…very much.
Surabaya, 6 Februari 2019
Satria Dharma
Pendiri dan Ketua Umum IGI Pertama
(2009-2011 dan 2011-2016)