HERALDMAKASSAR.com – Dua pekan terakhir, Indonesia disibukkan dengan merebaknya wabah virus Covid-19. Jumlah pasien yang terpapar dengan virus mematikan ini, jumlahnya kian menanjak setiap hari.
Pada Senin awal pekan ini, jumlah kasus positif hanya 134 orang, 5 meninggal dunia. Namun, keesokan harinya, Jubir Pemerintah untuk urusan korona, Ahmad Yurianto mengumumkan kenaikan sebanyak 38 pasien baru, dengan total 172 orang, 7 meninggal dunia.
Angka ini tentu mencengangkan publik. Harus ada langkah-langkah radikal yang ditempuh pemerintah untuk memutus mata rantai persebaran covid-19. Berkaca pada sejumlah negara, mayoritas negara lain memutuskan kebijakan lockdown (mengunci total) pergerakan di negaranya.
Terakhir, kebijakan lockdown terpaksa ditempuh Prancis dan Malaysia. Kedua negara ini, mengunci total pergerakan manusia di negaraya. Bahkan, Filiphina menerapkan jam malam yang melibatkan ribuan tentara agar warganya tidak keluar rumah.
Bagaimana dengan Indoesia? Seperti biasa, orang Indonesia lebih enjoy bersilang pendapat ketimbang menempuh langkah riil dalam menyelesaikan masalah. Perdebatan soal lockdown bahkan menghiasi seluruh stasiun televisi dan media daring.
Apalagi setelah Presiden Joko Widodo mengumumkan ke publik bahwa tidak akan memberlakuan lockdown. Jokowi hanya meminta ke semua gubernur dan bupati/walikota, untuk meminta warganya bekerja dari rumah, dan belajar dari rumah.
Sayangnya, kebijakan itu tidak sepenuhnya diikuti para pelaku usaha khususnya di Jakarta yang merupakan pandemi terbesar kasus korona.Sejumlah perusahaan tetap meminta karyawannya untuk masuk kerja.
Di sejumlah daerah, Aparat Sipil Negara (ASN) tetap masuk kerja seperti biasa. Hanya anak-anak mereka yang tinggal di rumah sambil belajar dengan metode daring.
Mengapa Jokowi bertahan tidak melockdown Indonesia ditengah ancaman virus mematikan ini? Bukankah keselamatan nyawa warga Indonesia jauh lebih penting ketimbang perputaran ekonomi nasional? Jika Indonesia sehat, otomatis roda ekonomi akan berputar. Itulah hukum ekonomi.
Dalam diskusi di Indonesia Lawyers Club TVONE, Jubir Presiden Fajroel Rahman sedikit menguak misteri lockdown ini. Meski tidak tegas, Fajroel menyebut, kebijakan lockdown sebenarnya sudah diatur dalam Undang-undang Nomor 6 tahun 2018 tentang kekarantinaan kesehatan. Kebijakan lockdown ini, kata Fajroel, menjadi kewenangan pemerintah pusat.
Pernyataan jubir presiden ini, sekaligus mengunci opsi locvkdown yang kini diterapkan di sejumlah daerah yang terjangkit virus covid-19. Pemerintah masih tampak yakin upaya tracing yang dilakukan akan mampu mengatasi penyebaran.
Menurut Fajroel, lockdown tidak sesederhana yang dibayangkan. Punya implikasi besar terhadap bangsa ini.
Sekadar diketahui, jika lockdown dilakukan, maka kemungkinan perekonomian akan jatuh. Itu karena Lockdown, yang artinya mengunci, yang bisa diartikan menutup suatu wilayah.
Dengan begitu, seluruh aktivitas keluar masuk wilayah ddisetop sementara waktu. Warga akan dibatasi pergerakannya. Mereka dipaksa berdiam diri di rumah untuk menghindari interaksi dengan pihak luar.
Berdasarkan UU nomor 6/2018, Lockdown bisa diartikan sebagai karantina wilayah. Di pasal 53 (1) Karantina Wilayah merupakan bagian respons dari Kedaruratan Kesehatan Masyarakat. (2) Karantina Wilayah sebagaimana dimaksud padaayat (1) dilaksanakan kepada seluruh anggotamasyarakat di suatu wilayah apabila dari hasilkonlirmasi laboratorium sudah terjadi penyebaranpenyakit antar anggota masyarakat di wilayahtersebut.
Pada Pasal 55 ayat 1 disebutkan, selama dalam Karantina Wilayah, kebutuhan hidup dasar orang dan makanan hewan ternak yang berada di wilayah karantina menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat.
Nah, sekarang pilihan ada di tangan Presiden Joko Widodo. Lockdown Indonesia atau tidak. Mari belajar dari negara-negara yang telah lebih dulu terserang virus mematikan ini.
(MAL)