AKHIR-AKHIR ini banyak terjadi demonstrasi di hampir setiap daerah di Indonesia terkait revisi UU KPK dan RUU KUHPid.
Menurut sebagian orang banyaknya pasal yang kontroversial sehingga msmbuat masyarakat menolak RUU KUHPid ini.
Sedikit saya bercerita tentang KUHPid kita yang mau direvisi. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang saat ini digunakan oleh Indonesia berasal dari i Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie, buatan pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie tersebut diundangkan melalui Staatsblad (lembar negara). Pada 26 Februari 1946, pemerintah Indonesia mengeluarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.
Undang-Undang inilah yang kemudian dijadikan dasar hukum perubahan Wetboek van Strafrecht voor Netherlands Indie menjadi Wetboek van Strafrecht (WvS), yang kemudian dikenal dengan nama Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
KUHP hanya berlaku di wilayah Jawa dan Madura. Hal ini sesuai dengan Pasal XVII UU Nomor 1 Tahun 1946 juga terdapat ketentuan yang menyatakan bahwa:
“Undang-undang ini mulai berlaku buat pulau Jawa dan Madura pada hari diumumkannya dan buat daerah lain pada hari yang akan ditetapkan oleh Presiden.”
Pemberlakuan KUHP di seluruh wilayah Indonesia baru dilakukan pada 20 September 1958, setelah diterbitkan UU Nomor 73 Tahun 1958.
Sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 1 UU Nomor 7 Tahun 1958 yang berbunyi:
“Undang-Undang Nomor 1 tahun 1946 Republik Indonesia tentang Peraturan Hukum Pidana dinyatakan berlaku untuk seluruh wilayah Republik Indonesia.”
Setelah 100 tahun lamanya menggunakan KUHP buatan Belanda, Pemerintah dan DPR akhirnya memutuskan untuk merevisi KUHP
Kalau kita cari tahu apa itu KUHP bahasa sederhananya perbuatan-perbuatan apa saja yg dapat dipidana. Akan tetapi pidana itu tidak selamanya penjara, ada juga pidana mati, kurungan atau denda. Yang perlu dipahami di Indoneisa banyak asas hukum yang berlaku salah satunya asas lex specialis derogat legi generali artinya kalau ada suatu perbuatan yang diatir secara khusus diluar KUHP, maka KUHP itu bersifat umum terhadap atiran yang bersofat lebih khusus. Karena mustahil setiap perbuatan itu dapat diatur di dalam KUHP secara detail. Jumlah masyarakat kita sangat banyak dan terus berkembang seiring waktu muncul hal-hal baru, peristiwa baru, dan kejahatan baru . Jadi, sudah saatnya memang Indonesia punya peraturan pidana sendiri yang bukan warisan dari jaman kolonial Belanda
Penyusunan RUU KUHP ini bukan baru kemarin dan tiba-tiba bahkan sudah 7 presiden yang bahas kata menkumham di ILC semalam bahkan dari sejak saya kuliah RUU KUHP ini katanya sementara dibahas di DPR . Jadi pertama kali dengar bahwa RUU KUHP akan disahkan sebenarnya secara pribadi saya bangga alhamdulillah akhirnya Indonesia mempunyai sendiri aturan pidana yang bykan warisan jaman kolonial.
Nah, kemudian yang disayangkan yaitu adanya pasal-pasal yang kontroversial dan kenapa menjelang di akhir masa jabatan DPR sekarang baru mau disahkan beserta RUU-RUU lainnya?. Kemana aja selama ini, kok semuanya tiba-tiba sekarang?. Tapi selalu ada sisi positifnya, mungkin saja anggota DPR mau merampungkan semua tugasnya sebelum akhir masa jabatannya.
Tak bisa dipungkiri bahwa memang ada beberapa pasal yang rawan kriminalisasi, yang mukti tafsir. Pak Jokowi meminta kepada DPR menunda untuk pengesahan RUU KUHP sudah betul, akan tetapi setelah ditunda harus direvisi juga pasal-pasal bermasalah tersebut barulah disahkan.
Jangan sampai 1 buku yang isinya 628 paaal itu ditiadakan semua karena mayoritas sudah sesuai dengan perkembangan zaman.
Banyaknya yang beredar tentang pasal gelandangan pasal 431 RUU KUHP “setiap orang yang bergelandangan dijalan atau di tempat umum yang menganggu ketertiba umum dipidana dengan pidana denda paling banyak Kategori I.
Kalau kita bedah ada 3 unsur:
1. Setiap orang disini tidak membedakan laki-laki atau perempuan
2. Bergelandangan dijalan/ ditempat umum
3. Menganggu ketertiban umum
Nah, 3 unsur ini harus terpenuhi kemudian bisa kena tindak pidana, contohnya seseorang pulang kerja malam pukul 22.00 jelas punya KTP bukan gelandangan maka pasal tersebut tidak dpat terpenuhi unsurnya.
Contoh kedua pasal pemerkosaan suami terhadap istri sebenarnya itu hoax karena tidak ada di dalam RUU KUHP tsb. Yang ada adalah sesuai pasal 479 RUU KUHP “setiap orang yang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang bersetubuh dengannya dipidana karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama 12 tahun.
Dari unsurnya bukan “suami perkosa istri” yah tapi memang penafsirannya setiap orang tanpa melihat apakah suami istri atau bukan. Padahal pengaturan pasal ini sama dengan UU no.23 tahun 2004 tentang penghapusan KDRT. Jadi kenapa baru ramai-ramai menyuarakannya?
Akan tetapi, dengan turunnya mahasiswa sampai siswa sekolah SMK juga sudah memberikan pelajaran demokrasi bahwa ada cek and balance antara masyarakat dan pemerintah. Pemerintah harus berhati-hati dalam pengesahan RUU menjadi UU.
PENULIS:
SULAIMAN SYAMSUDDIN
Praktisi Hukum