HERALDMAKASSAR.com – Jumlah pemilih perempuan di Sulawesi Selatan terbilang sangat tinggi dibanding jumlah pemilih laki-laki. Bahkan, lebih dari 50 persen dari total wajib pilih yang telah ditetapkan oleh KPU Sulsel beberapa hari lalu.
Berdasarkan rekapitulasi Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 di Provinsi Sulawesi Selatan, jumlah pemilih perempuan mencapai 3.171.811 dari total 6.159.375 wajib pilih. Sedangkan, pemilih laki-laki hanya 2.987.564
Hal itu bisa ditafsirkan secara politik menjelang Pemilihan Legislatif (Pileg) 2019, perempuan masuk dalam kategori sebagai pemilih psikologis. Jenis pemilih yang lebih mengandalkan figur maupun program.
Apalagi, jika ditambah dengan program-program, dukungan kelompok pemilih ini dinilai cukup signifikan untuk mendulang kemenangan pada Pileg nanti.
Pengamat Politik, Firdaus Muhammad mengemukakan bahwa, pemilih terbanyak di Sulsel adalah perempuan. Tapi kecenderungan pemilih tidak mutlak memilih caleg perempuan.
“Jadi justru dari 30 persen yang dipersyaratkan itu hanya terpenuhi ketika pencalegan, tetapi yang terpilih tidak maksimal,” kata Firdaus saat dikonfirmasi melalui sambungan telepon, Senin (17/12/2018).
Menurutnya, salah satu faktor karena tingkat kepercayaan pemilih pada perempuan itu masih cenderung rendah dibanding laki-laki. Ditambah lagi akses politik pada perempuan masih beda. “Jadi memang prosesnya ada perbadaan-perbedaan, ditambah lagi persepsi masyarakat juga masih minim terhadap perempuan,” jelasnya.
Dia mengurai, kinerja anggota legislatif dari perempuan saat ini belum maksimal, baik dari segi kontribusi, saat memberi pernyataan-pernyataan. Bahkan, saat mengemukakan pendapat masih minim dan belum mendominasi, dan itu berdampak pada potensi terpilihnya perempuan.
“Melihat potensi caleg-caleg yang ada, juga masih banyak yang pemula, ada yang masih caleg milenial, ini tentu masih dibutuhkan mereka bisa meyakinkan masyarakat atau calon pemilih termasuk caleg perempuan,” urai Dosen UIN Alauddin Makassar itu.
Meski begitu, lanjut Firdaus, caleg perempuan memang harus bekerja berat karena persepsi awal masyarakat yang berbeda, kemudian aktivitas legitimasi perempuan yang belum maksimal.
“Itu salah satu yang menjadi faktor minimnya tingkat keterpilihan caleg perempuan. Karena itu perempuan harus menunjukkan kesetaraannya dalam hal kemampuan menjadi caleg, dan ketika nanti diparlemen tidak lagi orang melihat dia laki-laki atau perempuan tetapi terlebih dari potensi dirinya,” ungkapnya.
(MKA)