OPINI : Oleh Ketua Korbid Kepartaian DPD II Partai Golkar Parepare. Muh. Yusuf MR
Terdapat kejanggalan yang sangat tajam oleh dua institusi yang berjenis kelamin sama dan setingkat, namun punya sudut pandang dan sikap yang berbeda terhadap persoalan yang sama dan melahirkan rekomendasi yang berbeda.
Yakni Panwaslu Makassar dengan Panwaslu Parepare. Perpektif kasus sebagai berikut:
1. Danny pomanto adalah petahana yang dilaporkan oleh rivalnya sekaitan dengan kebijakan Pemkot Makassar yang membelikan smart phone kepada RT/RW. Hal ini dianggap sebagai penggunaan kewenangan, program dan kegiatan oleh rivalnya, lalu kemudian dilaporkan ke Panwaslu dengan dugaan pelanggaran UU no.10 tahun 2016 pasal 71 ayat 3, terkait dengan penggunaan kewenangan, program dan kegiatan yang menguntungkan dan atau merugikan sala satu paslon. Tetapi proses pemeriksaan, kajian sampai kesimpulan. Panwaslu Makassar menganggap kebijakan tersebut (pembelian smart phone RT/RW) TIDAK MEMENUHI UNSUR dan atau BUKAN MERUPAKAN PELANGGARAN UU no.10 tahun 2016 pasal 71 ayat 3 terkait dengan penggunaan kewenangan, program dan kegiatan yang menguntungkan dan atau merugikan paslon lain. Sehingga laporan pelapor mentah di tingkat Panwaslu Makassar.
2. Taufan Pawe juga adalah petahana yang dilaporkan oleh rivalnya sekaitan dengan kebijakan Pemkot Parepare yang menambah 5 kg Rastra kepada kelompok penerima manfaat (KPM) yang telah mengalami pengurangan jumlah jatah Rastra dari pusat dari 15 kg menjadi 10 kg. Hal ini dianggap sebagai penggunaan kewenangan, program dan kegiatan oleh rivalnya, lalu kemudian dilaporkan ke Panwaslu Parepare dengan dugaan pelanggaran UU no.10 tahun 2016 pasal 71 ayat 3 terkait dengan penggunaan kewenangan, program dan kegiatan yang menguntungkan dan atau merugikan salah satu paslon. Tetapi proses pemeriksaan, kajian sampai kesimpulan; Panwaslu Parepare menganggap kebijakan tersebut (penambahan 5 kg Rastra oleh APBD yang merupakan dampak kebijakan pengurangan jumlah jatah KPM dari Mensos) MEMENUHI UNSUR atau MERUPAKAN PELANGGARAN UU no.10 tahun 2016, pasal 71 ayat 3 terkait dengan penggunaan kewenangan, program dan kegiatan yang menguntungkan dan atau merugikan paslon lain dan meneruskan rekomendasi ke KPU sebagai pelanggaran administrasi (pembatalan sebagai paslon).
Yang kita persoalkan adalah kapasitas dan integritas masing-masing anggota Panwaslu Parepare dan anggota Panwaslu Makassar, kok bisa punya sikap dan cara pandang yang berbeda untuk kasus yang persis sama. Dan kemudian melahirkan keputusan yang berbeda. Ini yang kami anggap kejanggalan yang sangat tajam.
Termasuk SOP penanganan pelaporan di Panwaslu Parepare yang terkesan tertutup dan tidak komprehensif. Seperti yang kami alami paslon kami diperiksa 1 jam terkait dengan kasus Rastra, kemudian mengajukan saksi ahli dari pakar kebijakan publik dan mengusulkan pemeriksaan dari lembaga pemberi keterangan dalam hal ini BPKP dan Dirjen Fakir Miskin Kemensos. Namun tidak dilakukan oleh Panwaslu Parepare. Sementara dalam Perbawaslu no.13 proses penanganan laporan di Panwas harus terbuka dan dilakukan pemeriksaan secara komprehensif. Kalau mau terbuka dan komprehensif seharusnya permintaan dari paslon kami dipenuhi. Sehingga kesannya terburu buru dan kejar target. SANGAT IRONI. (pojoksulsel).