POJOKSULSEL.com, MAKASSAR – Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sulawesi Selatan (Sulsel) menolak rencana pemotongan pajak rokok tahun 2018, yang diwacanakan oleh Kementerian Keuangan.
Penolakan wacana pemotongan pajak rokok juga didukung oleh asosiasi Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) seluruh Indonesia. Bahkan, dalam waktu dekat asosiasi Bapenda seluruh Indonesia akan menggelar pertemuan. Salah satu poin yang akan dibahas adalah,menolak pemotongan pajak rokok.
Kepala Bapenda Sulsel Tautoto TR mengatakan, wacana pemotongan pajak rokok akan mempengaruhi perencanaan pembangunan di Sulsel, yang telah disusun berdasarkan alokasi pajak rokok.
“Pemotongan pajak akan mempengarui kegitan yang telah disusun sebelumnya,” kata Toto saat membuka rapat evaluasi pemanfaatan dana bagi hasil pajak rokok untuk kabupaten/kota se-Sulsel tahun anggaran 2017 dan 2018, di Hotel Clarion Makassar, Jumat (4/5/2018).
Toto menegaskan, wacana pemotongan pajak rokok tersebut bukan hanya mengganggu Pemprov Sulsel. Tapi, pemerintah kabupaten/kota juga akan terganggu, lantaran telah menyusun program kegiatan untuk tahun 2018.
Dikatakan Toto, Pemlrov Sulsel pada bulan April lalu, telah menerima dana transfer dari pemerintah pusat untuk pajak rokok sebesar Rp184.465.011.412 atau sebesar 30,24 persen, dari target tahun 2018 sebesar Rp 610 Miliar.
Dana tersebut segera dibagikan ke kabupaten/kota di Sulsel untuk membiayai program yang telah dibuat. Kabupaten/kota mendapat pembagian sebesar 70 persen. Sementara provinsi hanya mendapat sebesar 30 persen.
Besaran nilai yang diperoleh kabupaten/kota, salah satunya, ditentukan oleh jumlah penduduknya. Makin besar jumah penduduk, makin besar jumlah pajak yang mereka terima.
Ia menegaskan, pajak rokok tersebut harus digunakan untuk peningkatan pelayanan kesehatan masyarakat dan penegakan hukum. Pada umumnya pemerintah daerah mengalokasikan 5 persen untuk penegakan humum dan 95 persen untuk kesehatan.
Meski demikian, ada kabupaten/kota (termasuk provinsi) yang mengalokasikan belanja earmarking pajak rokok untuk kegiatan peningkatan pelayanan kesehatan masyarakat lebih dari 50 persen. Dana itu dimanfaatkan untuk pembangunan sarana kesehatan masyarakat, alat kesehatan, penyelenggaran puskesmas, posyandu, rumah sakit pemerintah, dan pelayanan kesehatan lainnya.
Yang terbanyak adalah penggunaan pajak rokok untuk membayar iuran BPJS bagi masyarakat kurang mampu yang tidak ter-cover dalam program kesehatan nasional, katanya dalam sambutannya.
“Yang menjadi keberatan kita adalah adanya wacana pemerintah pusat akan melakukan pemotongan pajak rokok untuk kebutuhan BPJS tersebut. Bila ini terjadi, maka pemerintah daerah akan kekurangan dana pajak rokok sebesar Rp 200 miliar lebih pada tahun 2018” ujarnya.
(rls/fly/pojoksulsel)