POJOKSULSEL.com, JAKARTA – Pengamat Komunikasi Politik dari Universitas Pelita Harapan (UPH) Emrus Sihombing menilai peluang Jenderal TNI (Purn) Gatot Nurmantyo untuk maju dalam perhelatan Pilpres 2019 mendatang masih sulit. Pasalnya, mantan Panglima TNI itu dinilai masih memiliki dua kelemahan.
“Pertama Gatot bukan orang partai, dan kedua elektabilitas Gatot masih rendah untuk maju sebagai capres,” kata Emrus saat dihubungi wartawan, Kamis (28/6).
Menurut Emrus, sekuat apapun upaya Gatot untuk memperkuat basis massa, kalau tidak ada partai yang mengusung, pasti percuma. Karena pemilu 2019 adalah hajatan partai.
Pada bagian lain, Emrus juga mengkritisi kehadiran Gatot saat kampanye terakhir, Sabtu (23/6). Gatot dengan semangat berapi-api saat itu menyerukan, bahwa memilih pemimpin Sumut bukan dari warga Sumut adalah penghinaan terhadap warga Sumut sendiri. “Dalam diri putra-putri Sumatera Utara mengalir darah pemimpin. Warga Sumatera Utara bukan mental tempe.”
Namun, ucapan Gatot ini pun dianggap bertolak belakang dengan jargon “menjaga NKRI” yang selalu digembor-gemborkan oleh sang Jenderal bintang empat itu.
“Sepertinya tidak terlihat adanya konsistensi dari klaim NKRI yang selalu beliau ucapkan dalam setiap pidatonya. Artinya di satu sisi mengklaim nasionalis, di sisi lain menyerukan kepala daerah harus putra daerah,” kata Emrus Sihombing.
Selain itu, menurut Emrus, kesan yang dibaca publik adalah seruan itu ditujukan kepada pasangan yang didukungnya yaitu Edy-Ijeck. Dimana Edy Rahmayadi merupakan juniornya di TNI. Secara relasi, Emrus m.
“Dari sisi komunikasi, di balik itu Gatot ingin mengarahkan pandangannya kepada salah satu paslon di Pilkada Sumut,” sambungnya.
“Pertanyaannya kemudian, putra daerah itu juga seperti apa? Apakah paslon di daerah tersebut benar-benar putra daerah. Jangan-jangan putra dari provinsi tertentu tetapi dia kecil di sana. Misalnya saya suku Batak tapi saya lahir di Aceh, apakah saya putra sumatera utara atau putra Aceh. Jadi tergantung dari perspektif mana melihat,” tambah Emrus.
Karena itu, menurut dia, tidak perlu lagi ada dikotomi antara putra daerah atau bukan putra daerah, sebab Indonesia bukan negara federal melainkan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
“Artinya sangat indah sekali kalau misalnya warga Suku Batak jadi gubernur di Jawa Tengah. Kenapa tidak? Salahkah menurut undang-undang? Tidak. Kalau memang kita konsekuen dengan NKRI dan nasionalisme kita, jangan lagi mempersoalkan putra daerah atau nonputra daerah, tapi putra-putri Indonesia,” jelas Emrus.
(jpnn/pojoksulse)