MAKASSAR – Kasus pemukulan pasangan suami istri (pasutri) pemilik warkop oleh oknum Satpol PP Gowa kini masuk ke ranah hukum. Pelaku penukulan, Mardani Hamdan menerima dua pukulan telak.
Pertama, dinonaktifkan lalu dicopot dari jabatan sebagai Sekretaris Satpol PP Gowa. Kedua, kini Mardani Hamdan ditetapkan sebagai tersangka.
Dibalik kasus ini, ada cerita menarik yang jadi perhatian publik hingga menjadi perhatian netizen. Yakni saat korban perempuan, mengaku sedang hamil 9 bulan.
Karena pernyataannya yang menyatakan sedang hamil, langsung menuai sinpati dari netizen. Dan seketika itu, Mardani dibully hingga mendapat perhatian presiden.
Akademisi Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar, Hasnan Hasbi, mengatakan bahwa pihak kepolisian juga harus memproses klaim kehamilan sang korban yang bernama Riyana.
Pasalnya, menurutnya, kehamilan korban menjadi pemicu insiden penganiayaan itu viral dan menjadi atensi nasional.
“Pengakuan hamil itu bergelinding hingga menjadi isu nasional. Ketika itu tidak benar, itu menjadi keterangan palsu,” ujar Hasnan.
Kendati demikian, Dosen Fakultas Hukum UMI itu menyatakan bahwa pemukulan yang dilakukan Mardani tidak bisa dibenarkan dan harus dipertanggungjawabkan melalui proses hukum, terlebih korban sudah melapor.
Akan tetapi, terkait keterangan soal kehamilan sang korban menurutnya pun harus dibuktikan.
“Kita tidak membahas penganiayaan. Penganiayaan murni pidana dan harus dipertanggungjawabkan meski asbabun nuzulnya adanya ketersinggungan,” sambungnya.
“Tetapi aparat penegak hukum tidak boleh tinggal diam dengan keterangan atau statement (hamil) yang menjadi isu liar yang disampaikan oleh korban,” lanjutnya lagi.
“Kenapa? Karena kronologi perbuatan terlapor tidak terpisah dengan keterangan saksi pelapor/korban agar semua keterangan-keterangan dapat dipertanggungjawabkan.”
Doktor hukum lulusan Universitas Tarumanegara Jakarta tersebut juga mengatakan bahwa jika kehamilan korban memang tidak bisa dibuktikan secara medis, maka hal itu merugikan banyak pihak. Bahkan katanya melanggar ketentuan hukum.
“Siapa yang dirugikan? Ya pembaca berita, dalam hal ini masyarakat yang akhirnya berasumsi liar akibat validitas kebenarannya belum teruji,” ungkap Hasnan.
“Ketika keterangan yang diterima masyarakat melalui media bahwa korban hamil ternyata tidak benar, maka berita itu termasuk keterangan palsu atau berita hoax. Itu bisa dikenakan UU ITE Nomor 11 Tahun 2008 Pasal 28 ayat 2 tentang berita bohong dengan ancaman pidana enam tahun penjara dan atau denda Rp6 miliar,” jelasnya.
Ia juga menyebut bahwa pihak kepolisian tidak perlu menunggu laporan polisi terkait klaim kehamilan korban di mana keterangan tersebut harus dipertanggungjawabkan secara hukum.
“Itu delik biasa. Polisi tidak perlu laporan karena masyarakat yang dirugikan. Tidak perlu aduan untuk memprosesnya. Bukan media yang keliru, tapi sumber keterangan, yakni korban yang dianggap tidak menyampaikan keterangan yang tidak benar atau hoax karena validitas kehamilan belum bisa dibuktikan,” paparnya.
“Akibatnya, itu mengundang huru-hara dan ganggu ketentraman di masyarakat. Keterangan korban (hamil) harus dipertanggungjawabkan,” pungkas Hasnan Hasbi. (Int)