Beranda Headline News Siap-siap, Ekonom Rizal Ramli Prediksi Krisis Berakhir Medio 2022

Siap-siap, Ekonom Rizal Ramli Prediksi Krisis Berakhir Medio 2022

HERALDMAKASSAR.com – Pandemik virus corona baru (Covid-19) yang melanda dunia, berimbas kepada krisis perekonomian dalam negeri. Ekonom Rizal Ramli memprediksi, krisis akan berakhir satu setengah tahun lagi, atau sekitar pertengaban 2022.

Penyebabnya, kata RR (akronim akrab Rizal Ramli), karena persoalan krisis ini tidak bisa diselesaikan dalam waktu cepat oleh Presiden Joko Widodo.

RR melihat sejumlah sektor yang menjadi tulang punggung pemulihan ekonomi dalam negeri tidak disupport dengan baik oleh pemerintah. Sebagai contohnya, sosok yang kerab disapa RR ini menyebutkan program kredit perbankan untuk Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang dialokasikan pemerintah lebih sedikit ketimbang usaha besar.

“Hari ini total kredit perbankan untuk usaha kecil dan menengah kurang dari 20 persen. Yang 80 persennya ke yang pengusaha besar, padahal pengusaha besar banyak cara untuk cari modal,” ujar RR dalam acara virtual Ngopi Bareng RR berdama Gus Aam bertajuk ‘Membangkitkan Ekonomi Pesantren di Tengah Pandemik, Keniscayaan atau Ilusi?’, Senin (24/8).

Padahal, sambung RR, UMKM bisa mendokrak perekonomian domestik karena mampu menyerap banyak tenaga kerja, dan ujungnya meningkatkan konsumsi masyarakat. Sementara pengusaha besar tidak akan mau meningkatkan kapasitas produksinya di tengah kondisi corona ini.
Justru yang ada mereka membeli emas, obligasi, dan atau suatu aset untuk mengamankan uangnya. “Tentu saja yang besar akan cari jalan sendiri. Jual obligasi, saham, pinjam duit ke luar negeri, mereka tau kok pilihannya. Walupun mereka dinina bobokan di sistem perbankan yang ada,” ungkapnya.

Sejalan dengan itu, seharusnya pemerintahan Jokowi juga bisa meningkatkan ekonomi petani dan pertanian di Indonesia. Namun sayangnya, kebijakan pemerintah untuk basis ekonomi kerakyatan ini tidak menyejahterakan, malah justru memberi untung para kartel impor.

Hal itu bisa disaksikan melalui kebijakan harga (pricing policy) penjualan dan pembelian pupuk yang tidak diatur baik oleh pemerintah, sebagaimana yang dilakukan oleh Vietnam, Thailand dan bahkan Presiden Soeharto selama puluhan tahun memimpin.

“Profesor, ahli ekonomi pangan dari Stanford (University, California) sarankan ke Pak Harto sederhana, pokoknya setiap mau panen tentukan harga dasar gabah dengan harga pupuk. Rasionya minimal 3 banding 2, kalau pupuk harganya 200 harga gabah dasarnya 300, supaya petani ada untungnya setengah,” ungkap RR.

“Nah, hari ini sudah enggak jelas. Harga pupuknya naik karena subsidinya dicabut. Harga gabahnya jatuh pada saat panen. Jadi mungkin rasio 1 banding 1, atau bahkan mungkin negatif. Jadi petani yang panen padi rugi. Ngapain tanam padi, lebih bagus jadi supir ojek aja di kota,” sambungnya.

Sumber: rmol.co
(HM)