Beranda Sulsel LSM INAKOR Desak Kejati Sulsel Ambil Alih Kasus Sertifikat Prona di Bone

LSM INAKOR Desak Kejati Sulsel Ambil Alih Kasus Sertifikat Prona di Bone

Kejaksaan Tinggi Sulsel.

HERALDMAKASSAR.com, Watampone – Exspose bersama perkara antara Polres Bone dengan pihak Kejaksaan Negeri Watampone untuk kasus penipuan, penggelapan dan pemalsuan jempol pengambilan sertifikat tanah di Desa Nangauleng, Kabupaten Bone kembali ditunda oleh pihak Kejaksaan Negeri Bone pada Selasa (28/5/2019).

Kasus ini suda dengan LP 26/X/2016/Spkt/Res Bone/Sek Cenrana sudah cukup lama mandek, kasus ini bermula saat H. Mappa melakukan pengurusan sertifikat tanah melalui program pemerintah yakni Prona yang diperuntukkan untuk warga masyarakat tidak mampu yang sifatnya gratis. Program tersebut dikoordinir kepala desa Nagauleng untuk proses pengurusannya. Dimana H. Mappa termasuk dalam peserta Prona tersebu, bahkan H. Mappa melakukan pembayaran dalam pengurusan yang kemudian disetorkan ke kepala desa Nagauleng.

Setelah proses pengurusan selesai dari BPN. Pihak BPN menyerahkan sertifikat tersebut sebanyak 100 paket ke kepala desa Nagauleng sebagai pihak yang bertanggungjawab dalam proses tersebut, namun sampai saat ini sertifikat H. Mappa belum diserahkan. Bahkan oknum kepala desa mengatakan bahwa sertifikat yang dimaksud sudah diserahkan karena ada tanda terima atau cap jempol pengambilan dari tanda terima.

H. Mappa mengatakan bahwa dia belum pernah mengambil sertifikat miliknya. Berdasarkan prosedur pengambilan dari pihak BPN jika yang tidak hadir atau diwakilkan harus menunjukkan surat kuasa dari pihak pemberi kuasa yang bermaterai. Dan setelah dilakukan identifikasi melalui Latfor Polda Sulsel dan telah keluar hasil bahwa cap jempol yang ada di tanda terima nomor 24 atas nama H. Mappa identik dengan sidik jari Sekdes Desa Nagauleng yang saat ini sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik Polres Bone berdasarkan surat SP2HP tertanggal 4 Juli 2018.

Lantas sejauh mana keterlibatan kepala desa Nagauleng dalam kasus ini setelah penetapan tersangka? Proses hukum mandek, berkas perkara hanya bolak-balik antara pihak Polres Bone dan pihak Kejaksaan Negeri Watampone. Dan Sampai saat ini kasus tersebut masih belum ada kepastian hukumnya.

Dalam prosesnya, kasus ini sudah 5 kali di P19 oleh Kejari Bone. Olehnya, perlu kejelasan hukum dari pihak terkait.

Kasatreskrim Polres Bone, Iptu Pahrun saat dikonfirmasi menjelaskan bahwa kasus tersebut sudah dimohonkan untuk digelar perkara/Exsposes di Kejaksaan Negeri Bone.

“Kasus dimaksud sudah kami mohonkan untuk digelar di Kejaksaan Bone, dan pada dasarnya hari ini (21/05/2019) akan dilaksanakan Gelar/Ekspos perkara di Kejaksaan,” ungkap Iptu Pahrun melalui pesan Whatsaapnya saat dikonfirmasi.

Namun gelar perkara yang dimaksud oleh Kasatreskrim tidak jadi dilaksanakan di Kejari Bone pada tanggal 21 Mei 2019 dengan alasan karena ada pikon dengan Kapolda sehingga gelar perkara batal dan menunggu penjadwalan berikutnya dari pihak Kejari Bone.

Setelah dijadwalkan kembali, lagi-lagi Ekspose batal dilaksanakan, dimana menurut Kasatreskrim Polres Bone.

Terkait dengan permasalahan yang ada, LSM INAKOR Sulsel melalui Kepala Direktorat Pengamanan Aset Negara, Masran Amiruddin, SH, MH telah mengkonfirmasi hal tersebut dengan pihak Kejari Bone.

”Iya kemarin (27/5/2019), kami telah menghubungi pihak Kejari Bone melalui Kasi Pidum untuk pertanyakan kelanjutan kasus tersebut, namun sangat disayangkan pihak kejaksaan dalam hal ini Kasi Pidum tidak memberikan tanggapan atas permasalahan yang kami tanyakan,” ungkap Masran.

Selain menghubungi Kasi Pidum Kejari Bone, Masran Amiruddin juga telah menghubungi Kepala Kejaksaan Negeri Watampone yakni Kepala Kajari Watampone untuk mempertanyakan masalah gelar perkara dari kasus penipuan, penggelapan dan pemalsuan tanda tangan (jempol) dalam penerbitan sertifikat tanah di Desa Nagauleng Kabupaten Bone.

”Iya kami juga sudah hubungi ibu Kajari, tapi yang bersangkutan bilang belum tahu dan belum terima surat terkait dengan gelar perkara dari kasus dimaksud ,” ungkap Masran.

Dari tanggapan yang diberikan oleh pihak Kejaksaan Negeri Watampone, menurut Masran ada yang perlu dipertanyakan yaitu terkait dengan sistem kerja dari pihak Kejaksaan Watampone karena sangat terlihat tidak adanya jalur koordinasi yang baik antara pimpinan (Kajari) dan bawahan (Kasi Pidum), buktinya untuk proses gelar perkara harus ditunda sampai beberapa kali dan malah Kajari sebagai limpinan tidak mengetahui adanya jadwal gelar perkara dari kasus yang sedang berproses di intansinya. Apalagi untuk satu kasus sampai 5 kali di P19kan.

Olehnya itu, LSM INAKOR Sulsel meminta kepada Kajati Sulsel untuk turun tangan dalam mengawasi kinerja bawahannya dalam menangani kasus tersebut yang sudah lama namun belum juga ada kepastian hukumnya.

Hal demikian perlu dilakukan oleh Kajati Sulsel karena menurut LSM INAKOR Sulsel bahwa pihak Kejaksaan Negeri Watampone tidak taat peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 53 Tahun 2010 tentang disiplin pegawai negeri sipil. Bagian Kesatu Mengenai kewajiban pada pasal 3 poin 5, yakni melaksanakan Tugas kedinasan yang dipercayakan kepada pegawai negeri sipil dengan penuh pengabdian, kesadaran, dan tanggungjawab. Poin 14, memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada masyarakat.

Pada Bagaian kedua pasal 4 poin 10, melakukan suatu tindakan yang dapat menghalangi atau mempersulit salah satu pihak yang dilayani sehingga mengakibatkan kerugian bagi yang dilayani.

Selain itu, menurut anak dari H. Mappa saat dikonfirmasi, ia sudah menghubungi Kasi Pidum Bone dan diberi jawaban bahwa kasus ini sudah diexspose sebelumnya di Kejaksaan Tinggi pada bulan Desember 2018, namun Kasi Pidum tidak merinci tanggal pelaksanaannya.

Dikonfirmasi ke Kejati Sulsel melalui bagian Aspidum, tidak pernah ada exspose kasus ini.(Red)