HERALDMAKASSAR.COM – Pakar Hukum Tata Negara UIN Alauddin Makasar, Syamsuddin Radjab mengatakan, putusan Mahkamah Kontitusi (MK) terkait Undang-Undang Cipta Kerja bukan murni hukum. Ada sisi politik yang menkadi pertimbangan MK dalam memutus UU Nomor 11 Tahun 2020 tersebut.
“Sebenarnya posisi MK itu memang dalam pandangan saya tidak selalu melihat objektivitas dari pemohon semata. Masuk di dalamnya menimbang apa yang kita sebut politik hukum. kenapa inkonstituonal bersayarat, sebenarnya kalau kita memaknai dari inkonstitusional dari putusan MK itu sudah pasti MK menyatakan inkonstitusional UU Cipta Kerja ini. hanya diberikan pemakluman karena petimbangan politik hukum,” ujar Syamsuddin.
Hal tersebut disampaikan Syamsuddin saat menjadi pembicara diskusi bertajuk “Ambiguitas Putusan MK No.91/PUU-XVIII/2020 Tentang Uji Formil Undang-Undang Cipta Kerja” di sekretariat PB HMI, Jakrta Selatan, Senin (6/12/2021).
Menurut Syamsuddin, jika MK memutus UU Cipta Kerja secara hukum murni, maka dampak yang harus dihadapi adalah hengkangnya para investor asing dari tanah air. MK bisa saja memutus UU Cipta Kerja tanpa pertimbangan strategi politik- ekonomi.
“Sebenarnya MK ini mengatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional hanya karena melihat realitas investiasi yang berkembang di Indonesia itu ya mungkin yang menjadi pertimbangan politik strategis ekonominya, supaya tidak lari ini investor. Makanya diberi persyaratan untuk diperbaiki,” katanya.
Yang diperintahkan MK untuk memperbaiki UU Cipta Kerja adalah DPR dan pemerintah dalam kurun waktu dua tahun. Perbaikan UU Cipta Kerja ini, kata Syamsuddij, harus dimulai dari nol, sesuai dengan proses pembentukan peraturan perundang-undangan, UU Nomor 12 tahun 2011.
Proses pembentukan peraturan perundangan-undangan yang sesuai dengan UU No 12 Tahun 2011 tersebut, Syamsuddin menambahkan, diantaranya adalah adanya naskah akademik, partisipasi masyarakat, transparansi dan sosilalisasi dari pemerintah.
“Kalau itu tidak terpenuhi, asal-asalan saja, itu bisa menjadi problem yang sama dialami DPR dan pemerintah kalau tidak memperbaiki dari awal. Jadi rujukannya sebanarnya tinggal DPR dan pemerintah melihat kembali bagaimana tata cera pembentukan peraturan perundang-undangan. Ini kita masih belum masuk meterilnya, subtansinya dari isi UU Cipta Kerja. Kita hanya melihat kulitnya, hanya pintunya saja,” tukasnya.
Lebih lanjut, Direktur Eksekutif Jenggala Center ini meminta DPR dan pemerintah serius melakukan perbaikan terhadap UU Cipta Kerja yang diputus MK inkonstitusional bersyarat tersebut. Sebab, petusan MK untuk perbaikan dua tahun bukan waktu yang cukup lama.
“Harus kita pahami bahwa dua tahun itu memformat ulang proses tata cara pembentukan. Ini kita belum bahas isi materinya. Ini baru tata cara yang baru dibongkar MK. Kalau kita masuk pada isi, materi atau subtansi dampaknya bisa kemana-mana,” papar eks Ketua PBHI ini.