HERALDMAKASSAR – Ribut-ribut soal undang-undang cipta kerja, akhirnya ditanggapi Andi Alfian
Mallarangeng. Menurut dia, setiap kali ada yang protes terhadap berlakunya sebuah Undang-undang, jawaban klasik pemerintahan dan DPR adalah: “silakan ajukan ke MK, biar MK yang mengujinya.”
“Seakan-akan, itulah solusi terbaik dan satu-satunya terhadap berbagai keberatan terhadap UU tersebut,” kata Andi Mallarangeng dalam catatannya yang unggah di media sosial, Rabu (14/10/2020).
Andi Mallarangeng mengakui, memang benar MK berwenang untuk menguji UU, apakah UU tersebut bertentangan atau tidak terhadap konstitusi. Ranahnya adalah konstitusionalitas dari sebuah UU.
Kalau MK menganggap sebagian atau keseluruhan dari UU tersebut bertentangan dengan pasal-pasal tertentu dari konstitusi, maka MK berhak mengoreksi sebagian atau bahkan membatalkan keseluruhan UU tersebut.
Namun Andi Mallarangeng mengingatkan satu hal, bahwa MK tidak berwenang menguji “kebijakan yang buruk” (bad policies) yang berbentuk UU, sepanjang kebijakan tersebut tidak bertentangan dengan konstitusi.
“Itu adalah ranahnya parlemen dan pemerintah. Dan sudah berkali-kali MK pun menyatakan hal tersebut,” tukasnya.
Di negeri kita, jelas Mallarangeng, pembuatan UU dilakukan parlemen bersama pemerintah. Berbagai kebijakan negara memang dibuat dalam bentuk UU. Ciptaker juga merupakan kebijakan negara yang berbentuk UU.
Jika ada pasal-pasal yang bertentangan dengan konstitusi, tegas Mallarangeng, maka pasal-pasal itu bisa diajukan ke MK untuk diuji. Kalau MK mengabulkan, sebagian atau keseluruhan pasal-pasal yang diujikan tersebut, maka pasal-pasal tersebut bisa dikoreksi sebagian atau bahkan dibatalkan.
“Dalam pengamatan saya, memang ada beberapa pasal yang mungkin bisa diujikan konstitusionalitasnya di MK. Namun sebagian besar pasal yang bermasalah tidak relevan untuk diujikan konstitusionalitasnya, karena kebijakan itu memang ranahnya parlemen dan pemerintah,” jelasnya.
Ia pun membeberkan beberapa problem terkait berapa jumlah pesangon, atau cuti, jenisnya dan bagaimana pengaturannya; bagaimana menentukan upah minimum regional, di propinsi atau kabupaten; siapa yang punya wewenang perijinan, pemerintah pusat atau pemda dan seterusnya. Itu adalah ranahnya pemerintah dan parlemen.
“Kalau kebijakan itu dianggap tidak adil dan merugikan sebagian atau bahkan sebagian besar masyarakat, dan pada saat yang sama hanya menguntungkan sebagian kecil kelompok tertentu dalam masyarakat, itu hanyalah kebijakan yang buruk semata,” tegas Mallarangeng.
Sekali lagi, Mallarangeng menegaskan, kebijakan yang buruk, selama tidak bertentangan dengan konstitusi, tidak relevan untuk diujikan ke MK. Pasti ditolak.
“Kemudian, kalau ditolak, pemerintah dan parlemen bisa saja berdalih bahwa kebijakan itu sudah benar dan baik. Padahal, bukan begitu kesimpulannya. Kesimpulan yang benar adalah kebijakan itu tidak bertentangan dengan konstitusi,” kata Mallarangeng meluruskan.
Lebih jauh ia menjelaskan keputusan bahwa suatu kebijakan “tidak bertentangan dengan konstitusi” sama sekali tidak berarti bahwa itu adalah kebijakan yang baik.
“Sebaliknya, keputusan seperti itu juga tidak mengubah kenyataan jika kebijakan itu adalah kebijakan yang buruk,” tukasnya.
Karena itu, Mallarangeng mengaku kuatir mengajukan Ciptaker ke MK hanya akan menciptakan false hope, atau istilah anak sekarang PHP, yang akan berakhir dengan kekecewaan semata. Lantas siklus protes akan berulang kembali yang tak jelas ujungnya.
Bagi Mallarangeng, jalan terbaik tetaplah meminta Presiden mengesahkan UU ini segera, dan semenit kemudian Presiden menandatangani Perpu untuk membatalkannya.
Setelah itu, lanjutnya, kita bisa memulai ulang proses pembuatan UU Ciptaker yang baru dengan lebih inklusif, konsultatif, transparan dan berimbang, tanpa terburu-buru.
“Dengan begitu, kita bisa kembali fokus menghadapi pandemi dan membangkitkan kembali ekonomi kita bersama-sama,” tuntas Andi Mallarangeng.
(HM)