Beranda Sulsel Kesaksian Terdakwa dan Korban Silang Pendapat di Sidang Dugaan Pengrusakan Lahan di...

Kesaksian Terdakwa dan Korban Silang Pendapat di Sidang Dugaan Pengrusakan Lahan di Parepare

Sidang dugaan pengrusakan lahan orang tua di Parepare digelar secara virtual

HERALDMAKASSAR.com – Sidang lanjutan perkara dugaan penyerobotan lahan disertai perusakan yang mendudukkan seorang pengusaha SPBU di Kota Parepare Haji Ibrahim alias Haji Aco sebagai terdakwa kembali digelar di Pengadilan Negeri Parepare, Kamis (1/10/2020).

Agenda sidang kali ini kembali mendengarkan keterangan terdakwa. Dalam kesaksiannya di muka persidangan, Haji Aco mengaku bahwa kasus yang dituduhkan kepadanya terkait perusakan lahan dan penyerobotan Lahan memiliki dokumen atas nama dirinya. Serta dia mengaku telah meminta izin kepada orang pemilik lahan yang tak lain orang tua kandungnya, Haji Mukhti Rahim untuk membangun rumah mewah.

“Saya bilang begitu. Karna orang tua saya sudah memberikan rumah kayu itu (lahan dipersengketakan),” kata Haji Aco dimuka persidangan yang ketuai Majelis Hakim, Krisfian Fatahillah.

Namun pengakuan Haji Aco terkait kepemilikan
tanah, bahwa telah diberikan oleh orang tuanya tidak mampu dibuktikan dengan alat bukti, baik izin tertulis maupun lisan

“Akte hibah dan lainnya. Bukti tertulis tidak ada. Izin tertulis juga tidak ada. Saya tunjukkan (Lokasi, red),” akunya lagi.

Saat sidang berlangsung, beberapa kali Majelis Hakim menasehati terdakwa, untuk meminta maaf kepada orang tuanya, korban dalam kasus ini. Majelis Hakim juga menekankan bahwa harta hanyalah hiasan hidup semata.

“Tidak mungkin orang tua jengkel dan emosi kalau tidak ada perbuatan yang dilakukan anaknya. Tidak boleh marah sama orang tua. Tidak ada surga di uang yang ada di telapak kaki orang tua,” nasehat Majelis Hakim.

Pengakuan Korban

Diketahui, dalam persidangan sebelumnya saat pemeriksaan korban, pemilik lahan H Mukti Rachim yang tak lain ayah dari Haji Aco. Dalam keterangannya Haji Mukti merasa tidak nyaman dengan upaya Haji Aco yang sewena wena mengambil alih lahan.

Sebab, kata Haji Mukti, tanpa seizinnya Haji Aco langsung mendirikan sebuah bangunan mewah serta melakukan perusakan pagar dan tanaman menggunakan alat berat di lahan miliknya. Haji Mukti menuturkan, bahwa dirinya beberapa kali melayangkan teguran terhadap anaknya untuk menghentikan tindakannya, namun tak diindahkan.

“Saya sempat tanyakan, kenapa dirusak, dia bilang bangunan harus dibongkar. (Dugaan perusakan dan penyerobotan lahan) dikerjakan malam hari, kalau saya tegur dia berhenti. Tapi malam dia kerja lagi,” ungkap Haji Mukti di hadapan Majelis Hakim pada persidangan lalu.

Dalam persidangan kasus sengketa lahan yang melibatkan ayah dan anak, beberapa kali Majelis Hakim melakukan mediasi untuk mendamaikan terdakwa dan korban. Namun, korban Haji Mukti tetap kukuh dan tetap pada pendiriannya. Lantaran, telah diselimuti rasa sakit hati dan kecewa.

Apalagi, diakui Haji Mukti, bahwa Haji Aco selama ini tidak memiliki etikad baik, seperti memohon maaf maupun memohon izin untuk mengelola lahan tersebut.

“Sudah tidak bisa, saya sakit hati. Dan dia tidak pernah minta maaf. Saya modali dia untuk bangun SPBU di Pinrang. Tapi saya dilapor ke Pengadilan gara-gara itu,” keluh Haji Mukti terhadap tingkah anaknya itu.

Sementara itu, Majelis Hakim sempat menanyakan kepada Haji Mukti, “Kan bapak seorang ayah dari terdakwa. Jika nanti terdakwa dihukum dan bebas, apakah akan di maafkan?” tanya salah seorang Majelis Hakim. “Tidak,” jawab tegas Haji Mukti sembari mengumbar bahwa dirinya terlanjur sakit hati.

Diakhir kesaksian Haji Mukti, Haji Aco sempat menyatakan permohonan maaf setelah dimediasi oleh Majelis Hakim, “bapak saya mohon maaf, saya pernah datang ke bapak bersama anak dan istri saya meminta izin,” kata Haji Aco dengan nada sedih.

“Bohong, bohong, bohong, air mata buaya. Tidak pernah dia datang meminta izin,” sanggah Haji Mukti.

Dalam kasus ini Terdakwa dikenakan pasal berlapis, yakni, pasal 406 ayat 1 KUHPidana yang berbunyi, “Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum menghancurkan, merusakan, membikin tak dapat dipakai atau menghilangkan barang sesuatu yang seluruhnya atau, sebagian milik orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama 2 tahun 8 bulan.

Kemudian pasal 167 ayat 1 berbunyi “Barang siapa memaksa masuk ke dalam ruangan untuk dinas umum, atau berada di situ dengan melawan hukum, dan atas permintaan pejabat yang berwenang tidak pergi dengan segera, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan”. (*)