Oleh: Ano Suparno
Hiruk pikuk Musda Golkar Sulawesi Selatan akhirnya berdurasi hingga Agustus 2020 di mana seharusnya telah tuntas akhir Juli 2020, sebagaimana jadwal yang telah ditetapkan oleh Panitia Musda. Namun tak berizin dari Polda, Musda Golkar Sulsel beralih ke DPP Golkar Jakarta. Hingga tulisan ini terbir belum ada kesepakatan jadwal dari DPP Golkar.
Namun di tengah hiruk pikuknya partai berlambang pohon beringin itu, muncul slogan yang keluar dari mulut Supriansa, SH.,M.H bahwa dirinya akan menerapkan Golkar Tanpa Mahar dalam berpolitik. Baik saat Pilkada maupun Pileg nanti. Sanggupkah Supriansa menerapkan slogan itu? Sebab bukan hal mudah menerapkannya, sebagaimana beberapa partai yang muda belia lebih dahulu memilih slogan tersebut, Partai Tanpa Mahar untuk menarik simpatik di tengah tengah masyarakat. Soal penerapan tanpa mahar yang lebih dulu terslogankan oleh partai muda belia itu, masyarakat yang akan menjawabnya? Wallahualam.
Kembali ke sosok Supriansa, dapatkah menerapkan konsep itu? Baiklah, saya sedikit menceritakan tentang Supriansa. Saya mengetahui banyak tentang sosok ini, sebab berpuluh tahun telah jalan bersama. Sejak mahasiswa, bertemu di jalan, lalu ketika saya berprofesi sebagai jurnalis- kehidupan saya dengan Supriansa semakin lengket dan erat. Tulisan ini tentu agak subyektif, lantaran saya cukup dekat dengan Supriansa, tetapi label saya berlatar belakang Jurnalis – saya berusaha untuk menuliskan fakta yang kuketahui.
Sebelum aksi reformasi tumpah rumah ke jalan raya, Supriansa merupakan seorang aktivis internal kampus tepatnya di Senat Mahasisa Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia, UMI Makassar. Pria kurus dan berkumis saat itu, tercatat sebagai Ketua Senat FH UMI lalu kemudian terpilih pula sebagai Presidium Ikatan Senat Mahasiswa Hukum Indonesia. Sepanjang ke aktivisannya di Fakultas Hukum, Supriansa kerap menggelar dialog dan mendatangkan tokoh tokoh nasional di Makassar. Sebutlah, Bambang Widjoyanto, Adnan Buyung Nasution, Mulyana W. Kusumah serta sederet tokoh kritis pada masa Orde Baru. Untuk mendatangkan tokoh kritis pada zaman itu, tentu tak semudah membalikkan telapak tangan. Selain aktif di Intra kampus, Supriansa pula aktif sebagai kader Himpunan Mahasiswa Islam Indonesia, HMI Makassar.
Tetapi, Supriansa mulai menjadi media daring saat ia gencar mendampingi masyarakat marginal. Sebutlah. Pedagang kaki lima dan eceran di sepanjang kawasan Pantai Losari Makassar, pedagang Pasar Sentral, pedagang Pasar Butung, warga Maros yang lahannya sempat bermasalah dengan pembangunan Air Port Hasanuddin Makassar-Mandai. Pendampingan yang dilakukan oleh Supriansa semasa dirinya mendirikan MIL, LSM yang bergerak dalam pendampingan warga marginal yang harus berhadapan dengan pemerintah. Maka dari itulah, wajar jika nama Supriansa masih melekat pada kelompok yang saya sebutkan di atas tadi. Saat melakukan pendampingan warga, selain pendekatan hukum Supriansa pula kadang harus berhadapan dengan preman, militer dan kepolisian. Namun demikian, ia tak pernah mundur selangkah meskipun harus berhadap hadapan dengan kepolisian, militer atau preman sekalipun. Ia tak pernah membiarkan warga berdiri di depan untuk saling berhadap hadapan dengan kekuasaan , militer, kepolisian atau preman. Supriansa bersama kelompok nya di MIL justru “pasang badan” untuk warga. Kadangkala jika situasi telah memanas, Supriansa membuka kancing baju lalu berteriak di hadapan aparat “tembak saja saya dan jangan sentuh rakyat”. Kira kira seperti itu, kalimat yang kerap terlontar dari mulut Supriansa jika mendampingi masyarakat. Dia tidak pernah mengorbankan masyarakat yang ia dampingi. Mulai dari biaya operasional hingga fisik, MIL dan Supriansa lah yang harus berhadap hadapan. Beberapa barang atau milik pribadinya ia jua atau gadaikan jika operasional untuk mendampingi warga telah habis. Seperti cincin pemberian orang tuanya, ia pernah gadaikan demi perjuangannya mendampingi masyarakat. Perjuangan Supriansa bersama MIL nya cukup lama saat mendampingi warga Mandai Maros untuk mengambil haknya saat pembebasan lahan pembangunan bandara Hasanuddin Makassar. Di sini, saya mengikuti detik demi detik perkembangan aksinya hingga tuntas. Bagaimana dirinya, melewati jalur “tikus” untuk masuk ke dalam landasan pacu menggelar aksi lalu membakar alang alang demi tujuannya tercapai. Beragam cara ia lakukan agar tujuannya mendampingi rakyat Maros saat itu tercapai. Dan akhirnya aksi tersebut sukses, lalu Supriansa dan kawan kawannya pun kembali ke barak, laiknya kisah Robin Hood. Perjuangan Supriansa mendampingi rakyat selalu seperti itu. Bukan hanya mendampingi kelompok masyarakat tetapi juga individu, dengan syarat jika individu tersebut mengalami ketidakadilan terhadap perlakukan pemerintah apalagi jika berhadapan dengan kasus hukum. Pernah suatu kali, Supriansa harus melompati pagar hotel milik TNI Angkatan Laut yang dijaga oleh marinir. Ia sendirian sebab mendampingi seorang warga yang memiliki hubungan dengan hotel tersebut. Sekelompok marinir menjemputnya dan memaksa untuk keluar halaman tetapi Supriansa tetap melakukan perlawanan. Supriansa, pernah pula berhadapan dengan Nurdin Halid saat Supriansa mendampingi ratusan petani cengkeh di Sulawesi Selatan. Saat itu Nurdin Halid sebagai Direktur PUSKUD Hasanuddin dan Supriansa sebagai mahasiswa mendampingi para petani cengkeh.
Saat dirinya terjun d dunia politik, caleg DPR RI melalui Partai Demokrat 2010, ia bersama timnya melakukan sosialisasi lalu mendatangi beberapa tokoh masyarakat . Termasuk ke rumah orang tua saya di kampung, Kabupaten Wajo. Pesan yang ia sampaikan, “jangan pilih saya karena uang. Saya datang sekedar memperkenalkan diri” begitu yang kerapkali ia sampaikan kepada masyarakat. Dan hingga akhirnya, dirinya tak terpilih. Kemudian tak ada yang menyangka, ia terbang dari Jakarta ke Makassar pada tahun 2015, mencalonkan diri sebagai Wakil Bupati Soppeng, mendampingi Andi Kazwadi Razak lalu terpilih. Dari sinilah, Supriansa mulai berwujud birokrat. Setiap hari berpakaian sipil sebagai pejabat namun sikap nya yang tegas dan disiplin tetap terlihat. Di satu sisi, sikap humanis tetap ia terapkan pada kehidupan sehari harinya. Sebagai Wakil Bupati saat itu, kerapkali saya berkunjung ke Soppeng, tentunya di rumah jabatan Wabup Soppeng. Selama sebagai Wabup, hampir tiga tahun Supriansa tak tersentuh oleh segala macam kegiatan berbentuk proyek. Ia bersih menerima gaji dan operasionalnya sebagai wakil bupati. Supriansa lebih fokus membantu Bupatinya dan menerjemahkan program yang ia canangkan bersama Kazwadi Razak. Ia memiliki prinsip pada atasannya, patuh dan tanpa neko neko. Selain itu, Supriansa lebih banyak bertandang ke rumah rumah warga serta masjid masjid untuk menggelar Subuh Berjamaah. Atas “saham” sosialnya itulah, mengantar kan dirinya menuju kursi parlemen. Ia duduk di parlemen sebagai anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Golkar. Ia terpilih “Tanpa Mahar”
Lalu kemudian, melalui Musda Golkar Supriansa mendengungkan “Golkar Tanpa Mahar”, GTM. Sebagaimana cita cita Ketua Umum DPP Golkar Airlangga Hartarto, untuk memenangkan pertarungan event event politik di tanah air, termasuk gawe politik nasional 2024, maka Golkar Tanpa Mahar adalah salah satu pilihan. Pertanyaan terakhir saya, jika kelak Supriansa terpilih sebagai Ketua DPD I Golkar Sulsel, sanggupkah dia menerapkan konsep itu? Secara pribadi dan prinsip,pembaca dapat mengetahui dan memahaminya setidaknya setelah membaca tulisan saya ini, yang menguraikan sedikit aktivitas Supriansa sebelum duduk di parlemen. Tentu berbeda dengan pengurus pengurus partai atau kader partai lain, yang lebih dahulu menorehkan slogan itu. “Tanpa Mahar”.
Professor Michael Bailey melalui jurnalnya “The Two Sides of Money in Politics”, ia melihat betapa pentingnya peran politisi yang ber integritas dalam membangun partai politik tanpa sponshor atau permainan politik, yang kini di Indonesia ramai melalui sebutan “Tanpa Mahar”.
Pengurai fakta :
Ano Suparno