HERALDMAKASSAR.COM – Social Distancing; apakah ideal? Sebagian orang berusaha patuh atas anjuran social distancing yang ada, patuh untuk berdiam diri di rumah (stay at home), bekerja dari rumah (work from home), membatasi ruang gerak social
yang ada, tapi ada juga sebagian orang yang dengan bebasnya, tidak peduli dengan anjuran social distancing itu.
Sederhananya, Social distancing adalah salah satu cara atau metode yang digunakan untuk membuat ruang sosial terbatas, diri kita membuat jarak (distance) untuk tidak berinteraksi dengan orang lain (tidak termasuk keluarga), tujuannya untuk mengurangi kontak fisik dan penyebaran penyakit pandemi (cov19) ini.
Jadi, pertanyaannya, ada apa dengan kita, yang sampai saat ini beberapa diantara kita belum bisa menerima dan tidak bisa mematuhi anjuran Social Distancing yang dianjurkan pemerintah?
Jawabannya sederhana. Kita memiliki “kehendak bebas”, kita bisa bergerak, berlari, berjalan di sepanjang jalan poros kecamatan tanpa ada kecemasan soal pandemi yang melanda dunia saat ini.
kita (homo sapiens) memiliki kekuatan “kehendak” seperti pada zaman berburu dan meramu. Kita
memiliki “kuasa” seperti para pemburu penjelajah yang dengan kehendaknya, berani membunuh “perempuan” dalam kawanannya hanya karena mereka tidak butuh perempuan dalam berburu,
ataukah ibarat Raja yang dengan angkuhnya, duduk di kursi megahnya dan memenggal siapa saja yang dilihatnya. Kehendak ini dibenarkan, karena hukumnya adalah si pemburu dan si rajanya memiliki wilayah teritori masing-masing.
Keduanya memiliki kuasa untuk melakukan apapun.
Sama halnya dengan “kita”, kita juga punya “kekuatan yang sama”, kita bebas keluar rumah, tanpa
mempedulikan apa yang diberi dan menerima dari orang lain, bisa saja nafas kita atau teman kita mengandung Covid19, atau dengan dalih menjaga solidaritas, sebagian dari kita duduk bernyanyi berhimpitan, batuk dari mulut yang terbuka lebar seperti lubang guci peninggalan dinasti Wuhan,
dan setibanya di rumah, rebahan, berpelukan dengan orang tersayang malah menjadi “petaka” dan
perlahan membunuh orang-orang terdekat.
Hal inipun dibenarkan karena belum ada hukum yang mengatur bagi siapa saja (suspect) yang menyebarkan virus mematikan ini. Terlepas dari pengantar diatas, memang benar, tidak semua sepakat dengan mandat social
distancing ini, beberapa diantara kita pasti berpikir tentang bagaimana social distancing itu membuat satu tembok besar yang membatasi gerak kebiasaan kita. Pola adaptasi tiba-tiba berubah,
interaksi kita menjadi kaku, gejolak dalam diri untuk mengaktulisasikan diri menjadi buram, project riset tertunda, pembatalan konser mega bintang artis dalam negeri, dan mungkin janji suci pernikahanpun tertunda.
Ketika social distancing itu diterapkan (berdasar dari kesadaran), akan ada ruang baru yang terkonstruksi tidak lebih dari luasnya lapangan sepakbola, dibatasi tembok dan jendela rumah yang
belum dibersihkan.
Tidak hanya ruang sosial yang terbatas tapi ruang kerja juga dibatasi. Seperti,
seorang pedagang keliling yang tiap harinya “meneriakkan wantex jasa sablon celana” tidak lagi terdengar suaranya, seorang anak kecil itu tidak lagi harus keluar rumah untuk membantu berjualan
“jalangkote buatan ibunya”, ibu-ibu tidak lagi berani menggosipkan berita terbaru soal Pak RT
yang kedapatan berkomunikasi dengan seorang janda beranak satu, para pekerja ojol yang harus berdiam diri di rumah sampai masa tanggap darurat pendemi cov19 ini selesai atau mereka yang
bekerja sebagai buruh hanya diam di rumah dan berharap ada sumbangan “beberapa liter” beras dari tetangganya?
Cukup sulit untik diterapkan social distancing ini bagi sebagian orang yang kesehariannya bekerja di bawah terik matahari, berjualan keliling, para pekerja buruh, pedagang kecil, eceran pinggiran
lorong, pabentor, tukang bakso, penjual jamu, para kuli data, para penjaga warung bakso, pramusaji warung kecil yang diberikan upah 15 ribu perhari,. Jika social distancing itu ideal, apakah ideal bagi mereka untuk berdiam diri di rumah?
Mereka berpikir tentang bagaimana bertahan dan menghidupi kebutuhan keluarga saat ini, ketika
biasanya nilai uang seribuan bisa membeli beberapa tempe goreng untuk makan malam, ataukah para buruh harian yang biasanya setelah pulang membawa sekantor gorengan tahu bulat untuk lauk
makan malam keluarga, sudah tidak lagi mereka penuhi.
Pola kebiasaan mereka dirubah, pendapatan merekapun terhenti. Tabungan mereka kian menyusut,
tumpukan utang yang nantinya malah membuat mereka tersiksa karena tidak lagi bekerja karena dampak dari pandemi ini.
Sederhananya, kita dituntut untuk beradaptasi dengan fenomena ini, tapi sekali lagi, “apakah anjuran social distancing ini ideal bagi para pekerja yang bergantung nasib dari gaji harian
mereka?”. Beragam informasi media online, media elektronik menyerukan soal social distancing, stay at home, work from home, tanpa melihat ada beberapa bagian dari masyarakat indonesia yang
“butuh kebebasan”, pemerintah seolah-olah menyepelekan dan seakan-akan meniadakan para
pekerja buruh harian atau pedagang keliling yang tiap harinya hidup dari untung seribu rupiah.
Jika seperti itu, Pemerintah seharusnya harus menyederhanakan mandat social distancing ini, para pengambil kebijakan seharusnya lebih paham akan konteks masyarakatnya yang heterogen ini.
Pemerintah jangan hanya menyerukan soal pencegahan pandemi ini, tapi juga memberikan solusi
bagi masyarakat “pekerja kelas bawah” untuk bisa bertahan hidup selama masa tanggap darurat COVID 19 hingga 29 Mei 2020.
Pertanyaannya, apa yang harus dilakukan pemerintah untuk membantu para “pekerja kelas bawah”
dalam memenuhi kebutuhan harian mereka selama masa tanggap darurat COVID19 ini? Untuk menjawab ini, ada beberapa cara yang mungkin bisa menjadi formula bagi pemerintah pusat
maupun pemerintah daerah dalam membantu masyarakat kecil yang terkena dampak pandemi COVID19. Diantaranya :
Pertama, pemerintah perlu memberikan bantuan/insentif kepada masyarakat kecil yang berprofesi sebagai para “pekerja kelas bawah”, data terakit penerima bantuan ini daapt dilakukan dengan cara
membentuk Tim Tanggap Darurat Pandemi COVID 19 untuk melakukan “pendataan baru” yang diintegrasikan dengan basis data yang telah ada (baik dari data BPS, Kementerian Sosial) dan data terpadu kesejahteraan sosial (DTKS) terkait masyarakat miskin. Sehingga data yang diperoleh tidak bersentuhan dan tumpang tindih dengan data penerima bantuan sosial seperti PKH, BPNT,
dan bantuan sosial lainnya, sehingga bantuan ini dapat dilakukan dengan tepat.
Kedua, Tim Tanggap ini dibentuk oleh pemerintah daerah yang melibatkan pemerintah kecamatan,
kelurahan, RT, RW, yang mampu menyaring siapa-siapa saja diantara warganya yang harus diberikan insentif/bantuan sesuai dengan syarat yang ditetapkan dan dikontrol oleh tim pengawas yang kompoten dan profesional.
Ketiga, bantuan ini hanya bersifat sementara, dan bantuan ini berupa “Sembako” yang bisa mereka gunakan selama masa tanggap darurat covid19, mengurangi beban pembayaran tarif daya listrik, dan beberapa bantuan yang dapat menguragi beban hidup mereka. Untuk penerima bantuan BPNT juga bisa diberikan tambahan sembako yang diperolehnya dari biasanya.
Ketiga cara ini terlihat seperti bantuan sosial yang selama in dilakukan oleh pemerintah, namun pada saat ini, hanya ini dari beberapa skenario bantuan yang dapat membantu para “pekerja kelas
bawah” untuk menghadapi masa sulit seperti ini. intinya, skenario ini hanya berlaku sementara selama masa tanggap darurat COVID ini.
Ingatlah, Kita memang menjaga jarak (social distancing) tapi tidak harus mengikis rasa kemanusiaan, rasa peduli terhadap orang-orang yang sepatutnya diperhatikan. Akhir kata, mari
bersyukur, mari berdoa, dan tetap sehat, semoga fenomena pandemi covid19 ini dapat cepat diselesaikan dan hilang dari muka bumi ini.
Tentang penulis:
Ramlan Bahar (Peneliti di Lokus Research and Consulting)