HERALDMAKASSAR.com – Dewan Kesenian Makassar (DKM) periode 2020-2025 menggelar Diskusi Publik dengan tema “Matinya Budaya Bugis Makassar” di Benteng Fort Rotterdam, Makassar, pada Minggu (8/3/2020).
Diskusi tersebut menghadirkan narasumber yakni, Radhar Panca Dahar seorang penulis dan budayawan dan Prof Qasim Mathar selaku budayawan dan akademisi UIN Alauddin Makassar.
Ketua Dewan kesenian Makassar, Erwin Kalo mengatakan, sengaja mengambil tema tersebut karena melihat perkembangan di era digital budaya Bugis Makassar sudah hampir mati.
“Memang sengaja tema ini kita ambil sebagai alarm untuk kita semua, sebenarnya apa indikator matinya suatu budaya?,” kata Erwin.
Matinya sebuah budaya, menurut Erwin, ada tiga indikator yang bisa mengancam budaya Bugis Makassar tidak lagi seperti dulu.
“Pertama bahasanya, masih dipakai nggak bahasa kita? Yang kedua apakah anak-anak sekarang masih mengetahui bahasanya, dan artefak atau penemuan? Apakah suatu kota itu masih punya histori, bangunan yang bersejarah. Dan ketiga pola sikap sistem nilai, apakah itu masih hidup?,” tegasnya.
Ketiga indikator tersebut, kata Erwin menyatakan bahwa budaya Bugis makassar itu terancam mati. Bahkan, lanjutnya, ada yang mengatakan tidak mati karena setiap perkawinan ada upacara, “Tapi itu hanya seremonial bukan sistem nilai, terutama sipakatau, sipakainge, dan sipalebbi,” ujarnya.
Apa yang akan dilakukan DKM agar budaya Bugis Makassar tidak ditinggalkan oleh masyarakat Sulawesi Selatan?
“Kami sebagai pimpinan kemarin sudah musyawarah kerja, kita bikin program yang mengarah kepada untuk mempertahankan supaya budaya Bugis Makassar tidak mati,” jelas Erwin.
“Bentuknya bagaimana? Nah, kita mengingatka kembali sejarah. Seperti ditahun ini kita rutin mengadakan Makassar bersyair, ada lomba baca puisi tingkat SMA, SMP, dengan menggunakan bahasa Bugis Makassar,” pungkasnya.