POJOKSULSEL.com, PAREPARE – Rekomendasi Panwaslu yang menggunakan kata “Diteruskan” ke KPU Parepare, menjadi teka-teki. Di antara teka-teki itu adalah kesimpulan surat Panwaslu yang diteruskan ke KPU terdapat kata diduga memenuhi unsur pasal 188 juncto pasal 71 ayat 3 UU nomor 10 tahun 2016 tentang pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota.
Rekomendasi ini yang kemudian dianalisa oleh Pimpinan DPRD Parepare. Wakil Ketua DPRD Parepare Rahmat Sjamsu Alam yang membaca produk hukum perundang-undangan seperti membuat Perda, menafsirkan rekomendasi Panwaslu itu.
“Karena Panwaslu tidak menemukan unsur pelanggaran pada mutasi di ayat 2, jadi dia hanya meneruskan ke KPU, dugaan pelanggaran menggunakan kewenangan, program, dan kegiatan yang menguntungkan dan atau merugikan salah satu paslon di ayat 3,” papar Rahmat, yang juga Ketua DPC Partai Demokrat Parepare, Kamis, 3 Mei 2018.
Jadi Rahmat yang kerap disapa Ato, menafsirkan jika pelanggaran di pasal 71 itu, masing-masing ayat berdiri sendiri. Kecuali pada ayat 5 yang mengatur tentang sanksi pembatalan atau diskualifikasi pasangan calon harus memenuhi ayat 2 dan ayat 3. Harus kedua ayat itu, tidak boleh hanya salah satunya.
Rahmat menjelaskan, apabila tertulis ayat (2) dan/atau ayat (3), maka kumuliatis alternatif (bisa dua duanya dan bisa salah satunya). Namun apabila tertulis ayat (2) dan ayat (3), maka kumuliatif atau kedua-duanya.
“Nah dalam bahasa perundang-undangan itu, kata “dan” berarti akumulasi, saling mengikat, dan saling menarik. Menarik ke atas dan menarik ke bawah. Kata dan itu harus memenuhi keduanya, jika hanya salah satu saja terpenuhi, itu tidak bisa. Seperti kata “aku” berdiri sendiri, kalau aku atau kamu, itu salah satunya, tapi kalau aku dan kamu, artinya kedua-duanya,” terang Rahmat.
Nah, merujuk penafsiran itu, Rahmat berani mengatakan, jika sebenarnya rekomendasi Panwaslu itu bukanlah sanksi diskualifikasi, melainkan sanksi administrasi teguran tertulis. Karena tidak memenuhi unsur ayat 2, hanya ayat 3, itupun baru sebatas dugaan. Sehingga ayat 5, berisi pembatalan calon itu tidak bisa digunakan.
“Jadi rekomendasi itu, KPU bisa menggunakan kewenangannya sesuai diatur dalam UU nomor 1 tahun 2015, yakni mengeluarkan sanksi administrasi teguran tertulis kepada paslon,” kata Rahmat.
Rahmat menegaskan, rekomendasi pembatalan pasangan calon itu sangat berisiko. Jadi harus jelas ukurannya. Panwaslu tidak bisa hanya sekadar menafsirkan pelanggaran tanpa ukuran.
“Jadi kalau hanya Panwaslu saja yang menafsirkan pelanggaran tanpa ukuran jelas, seperti pasal 71 ayat 3 maka rusaklah demokrasi ini,” tekan Rahmat.
Rahmat mencontohkan pelanggaran administrasi politik uang yang ukurannya sangat jelas yakni harus memenuhi unsur TSM (terstruktur, sistematis, dan masif). Selanjutnya TSM juga didefinisikan satu persatu agar penyelenggara pemilu tidak sembarangan menyimpulkan dan memberi sanksi yang sangat merugikan calon sehingga berefek pada pembatalan pasangan calon.
“Karena berisiko besar, bisa merusak pasangan calon, partai politik, hingga masyarakat, sehingga aturan pembatalan calon itu dibuat dengan ukuran yang sangat jelas. Tidak sepenggal-sepenggal, tapi menyeluruh, terakumulasi, saling terkait, dan terikat. Supaya menciptakan azas keadilan dan tidak ada kepentingan,” imbuh Rahmat.
Sehingga Rahmat menilai rekomendasi Panwaslu yang menduga ada pelanggaran memenuhi unsur pasal 71 ayat 3 UU nomor 10 tahun 2016, harus diuji dan dikaji betul apakah pelanggaran itu menggunakan kewenangan, program, dan kegiatan menguntungkan dan atau merugikan salah satu pasangan calon.
“Karena kalau hanya berdasarkan rekaman, itu tidak bisa dijadikan alat bukti. Bisa saja rekaman itu dipenggal atau diedit,” tandas Rahmat. (rilis/pojoksulsel)