HERALDMAKASSAR.COM – Dalam banyak literatur Islam diketahui bahwa silsilah Nabi Muhammad sampai pada Nabi Ibrahim. Namun keterangan yang menegaskan bahwa silsilah Nabi Muhammad sampai pada Nabi Ismail dan Nabi Ibrahim masih sangat minim ditemukan dalam kitab Alquran kecuali hadist nabi Muhammad. Dan Hadist Rasullullah, itu perlu diyakini mendalam bahwa Nabi Ismail AS secara nasab tegak lurus ke Nabi Muhammad SAW.
Tokoh Muslim Indonesia sekaligus Wakil Ketua Dewan masjid Indonesia (DMI), Komjen Pol (purn) Dr (Hc) Syafruddin mengungapkan sangat penting pelajar dan ilmuan muslim Indonesia mempelajari lebih dalam silsilah kenabian hingga ke Nabi Ibrahim As.
“Kajian tentang ini masih sangat sedikit kita dapatkan literaturnya. Kita sangat membutuhkan itu agar paham sejarah dan bisa menjelaskan dengan ilmiah sejarah kenabian. Hal berbeda pada kaum Yahudi mereka bisa secara runut menjelaskan nasab hingga ke Nabi Musa,” kata Syafruddin, saat bincang-bincang ringan di Makassar, Kamis 23 September 2021.
Mantan Wakapolri bergelar doktor bidang keilmuan sejarah Islam ini mengatakan, literatur ilmiah menjelaskan nasab atau silsilah ini banyak mengutip kitab agama lain. Salah satunya, seperti karya Muhammad Fethullah Gulen dalam bukunya An Nur Al Khalid Muhammad Mafkhirat Al Insaniyah yang diterjemahkan Fuad Saifuddin berjudul Cahaya Abadi: Muhammad Saw Kebanggaan Umat Manusia
“Mungkin secara umum, kita hanya mengetahui nasab atau silsilah Nabi Muhammad SAW sampai ke kakeknya, yakni Abdul Muthallib. Padahal jika dirunut lebih jauh, Nabi Muhammad SAW merupakan keturunan dari Nabi Ibrahim A.S melalui anaknya Nabi Ismail. Nah yang perlu digali lebih dalam ini sosok Nabi Ismail. Mengapa? Karena sejarah ini sangat penting. Nasab Ismail hingga ke Nabi Muhammad ini selalu disoal para ahli kitab sejak dulu. Mengapa ada Nabi dari bangsa Arab, kan begitu,” kata Syafruddin.
Sebenarnya, kata dia, ummat Islam yang paham perbedaan sejarah peradaban manusia dan sejarah keislaman akan memahami dengan baik, namun generasi kita belakangan ini masih rancu membedakan mana sejarah peradaban manusia, mana sejarah keislaman.
“Sejarah keislaman itu dimulai dari era Nabi Muhammad, yang lahir Awwal tahun Gajah atau 570 Masehi. Tapi bicara sejarah peradaban manusia tentu kita akan sampai ke zaman Nabi Adam,” terangnya.
Di Indonesia, sambung Syafruddin siswa sekolah dibentuk melalui pendekatan sejarah secara umum. Mereka punya kurikulum sendiri. Nah, kalau bicara keislaman ini perlu membaca banyak literatur.
“Coba kalau saya tanya kapan pertama kali Islam masuk nusantara? Belum ada jawaban pasti masih kontroversi, nah ini perlu digali mencari jawaban keilmuannya,” tandas Syafruddin panjang lebar.
Karena itu, DMI selaku lembaga bergerak di bidang kegiatan kemasyarakatan selalu berusaha mendorong lahir peneliti atau pengajar yang nantinya melahirkan karya keilmuan berguna bagi ummat. Ada buku-buku jadi petunjuk sejarah keislaman berbagai sudut pandang.
Apalagi saat ini minat pemuda Indonesia mempelajari sejarah masih kurang. Kompetensi keilmuan ini dipandang sebelah mata terutama yang berkaitan langsung dengan dunia kerja. Lihat saja, jurusan sejarah di kampus-kampus sepi peminat ketimbang ilmu terapan seperti kedokteran, teknik atau eksakta lainnya. (rls)