HERALDMAKASSAR – Dunia internasional tengah menyorot kasus penembakan di KM50 yang menewaskan 6 laskar FPI. Karena itu, Pakar hukum tata negara, Refly Harun meninta Presiden Joko Widodo untuk tidak memandang remeh kasus ini.
Apalagi, umat Muslim di Amerika Serikat telah mendesak Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menyelesaikan kasus penembakan 6 laskar FPI di Jalan Tol Jakarta-Cikampek pada 7 Desember 2020 lalu.
Melalui kanal YouTube Refly Harun, ia mengatakan bahwa internet merupakan dunia tanpa batas.
Menurutnya, hal yang lumrah ketika masyarakat internasional mengetahui isu yang sedang terjadi di seluruh dunia.
“Bagaimanapun ini kan dunia internet, dunia tanpa batas. Semua orang bisa mengikuti perkembangan-perkembangan yang terjadi detik demi detik,” kata Refly seperti dikutip Pikiranrakyat-Depok.com pada Minggu, 20 Desember 2020.
Oleh sebab itu, ia menilai bahwa tidak mungkin masyarakat mengisolasi serta melepaskan diri dari perhatian internasional, dan menganggap seolah-olah ini hanyalah urusan dalam negeri.
“Kenapa? Karena kalau dimensinya adalah pelanggaran HAM, maka ada pihak-pihak lain yang berkepentingan dan Indonesia tidak bisa mengeklaim bahwa ini adalah urusan domestik,” tuturnya.
Ia berpendapat bahwa apabila memang terjadi pelanggaran HAM, hal itu akan menjadi perhatian seluruh umat manusia.
“Kalau seseorang itu merupakan pelanggar HAM, maka bisa jadi berlaku yang namanya yurudiksi dunia, di mana mereka yang terlibat dapat diadili. Kalau itu menyangkut orang-orang yang berada di lapangan, merekalah yang diadili. Kalau menyangkut struktur komando, pemegang struktur komando yg diadili,” ucap Refly.
Ia juga berharap pemerintahan Jokowi tidak meremehkan kasus tersebut.
Refly mengingatkan bahwa sebentar lagi Jokowi akan menerima laporan dari Komisi Nasional (Komnas) HAM mengenai tragedi tewasnya 6 laskar FPI, yang bisa jadi berisi kejutan.
“Karena paling tidak, apa yang akan disampaikan komnas HAM berbeda dengan apa yang disampaikan Kapolda Metro Jaya pada tanggal 7 Desember dan berbeda pula dengan rekonstruksi yang dilakukan oleh Bareskrim,” ujarnya.
Menurutnya, hal itu bisa sangat menohok bagi pemerintahan Jokowi jika ternyata ada keterlibatan struktur kekuasaan dan aparat membiarkan hal ini, serta barangkali bersama-sama berupaya menutupi soal tragedi tersebut.
“Kita tidak bisa menuduh, tidak bisa melakukan judgement terlebih dahulu, tapi hanya bisa terus-menerus mengimbau dan mengingatkan sebagai warga negara agar semuanya dibuka secara terang-benderang dan adil, karena di situlah masyarakat bisa menerima,” katanya.
Akan tetapi, kata dia, jika ada upaya untuk menutupi kasus ini seolah-olah hanya sebuah tragedi yang menyebabkan 6 orang tewas, maka bisa jadi hal ini ibarat api dalam sekam.
“Publik bisa jadi akan menyimpan ini sebagai memori yang buruk,” tutur Refly.
Kemudian, Refly menegaskan bahwa jauh lebih baik apabila kasus tersebut dituntaskan dan diselesaikan.
“Kalau memang benar, tidak perlu takut,” ucapnya menambahkan.
Ia menjelaskan, kalau memang ada pihak yang terbukti melakukan sebuah pelanggaran HAM berat, maka hal itu akan membuat kekuasaan menggunakan tangan-tangan besinya untuk membungkam.
Lebih lanjut, Refly berharap tidak ada korban lagi dalam kasus tersebut dan semuanya bisa diselesaikan secara baik.
“Yang bertanggung jawab harus dihukum dan 6 orang korban yang sudah tewas mendapatkan keadilannya agar mereka tidak lagi menuntut di akhirat kelak,” katanya.***