HERALDMAKASSAR.com – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 100/PUU-XIII/2015 tentang Calon Tunggal dalam Pemilihan Kepala Daerah, tegas mengukuhkan adanya pilihan kotak kosong secara konstitusional.
Sehingga, alat peraga kampanye semestinya disediakan juga untuk kolom kosong sebagai wujud terakomodasinya. Menuntut adanya kesetaraan ruang kampanye diberikan diberbagai media sosialisasi, bukan malah ditimpali dengan gambar paslon.
Proses pencermatan dilakukan untuk memastikan prosedur sebelum pencetakan, yang diatur sesuai PKPU nomor 4, tahun 2017 tentang Kampanye pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota.
Dalam PKPU Nomor 4 Tahun 2017 tentang Kampanye dijelaskan bahwa desain menjadi tanggung jawab tim kampanye sedang pembiayaan untuk menyiapkan bahan kampanye dan alat peraga kampanye menjadi tanggung jawab KPU melalui anggaran negara. Sebelum dicetak kewajiban KPU adalah mengkroscek desain dari tim kampanye agar sesuai ketentuan.
Menanggapi tentang fenomena APK Paslon di Pilkada Soppeng, Penggiat anti korupsi, Djusman AR yang juga koordinator badan pekerja Komite Masyarakat Anti Korupsi (KMAK) SulSelbar mengatakan kejadian itu akan menjadi ujian kepedulian berdemokrasi buat teman-teman aktivis yang tak sedikit jumlahnya di Kabupaten Soppeng.
Hal itu, kata Djusman, bukan persoalan suka atau tidak suka dengan paslon. Tapi bagaimana lahirnya pencerahan demokrasi. Substansi masalahnya ada pada penyelenggara teknis KPU, begitupun penyelenggara pengawasan dari Bawaslu mutlak berkait juga.
“Filosopi KPU dan Bawaslu adalah penegak demokrasi sehingga patut memperhatikan norma-norma aturannya, ada hal etik dalam pelaksanaan demokrasi yg artinya terdapat hal prinsip. Merujuk pada ketentuan, paslon yang mendesain APK dan KPU menfaslitasi ke pihak terkait dengan fungsi mencermati, memverifikasi yang harus dijalankan dengan benar,” kata Djusman, Minggu (18/10/2020).
Pihak penyelenggara, kata dia, tidak boleh polos karena anggaran sosialisasi yang digunakan merupakan anggaran negara. Sangat berbeda dengan anggaran mandiri.
“Jangan disamakan pilkada dengan pemilu legislatif dalam pelaksanaannya bahkan putusan Mahkamah Konstitusi yang terakhir menegaskan pemberlakuan kesetaraan. Tidak boleh ada yang ditimpali karena Koko (kotak kosong) pun dianggap paslon yang memiliki ruang dan hak konstitusi meskipun tanpa gambar paslon namun tentu tak dinasbihkan ada pemilihnya,” ujarnya.
Menelisik gambar APK yang ditimpali, Djusman mengatakan bila itu produk KPU Soppeng maka sangat fatal narasi yang disajikan. Menurutnya, terkesan bukan lagi bermakna penyelenggara, tapi tim sukses.
“Ingat, KPU merupakan nafas tegaknya demokrasi begitupun bawaslu karenanya harus ada sikap terkait itu. Publik menyorotnya bukan persoalan suka dan tidak suka dengan paslon tapi bagaimana kredibilitas penyelenggaranya,” jelasnya.
“Berkenaan aturan, orang tidak bicara persepsi lagi, tapi bagaimana penerapan aturan yang wajib ditegakkan dengan benar dan terukur. Karena menggunakan anggaran negara, dapat diduga bukan saja publik yang terusik perwajahan APK tersebut tapi juga paslon, tentu paslon menjaga munculnya stigma publik akan terbangunnya image intervensi terhadap KPU yang pada dasarnya juga tak menginginkan seperti itu pungkasnya,” sambung Djusman.
Dia menambahkan, KPU Soppeng dilematis terkait APK dan BK apalagi bila sudah mencetak banyak dan tersebar secara TSM. Ibarat kata maju kena mundur kena sebab bila ia mau memperbaikinya dan mencetak ulang maka akan diperhadapkan dengan pertanggung jawaban anggaran yang bukan lagi sifatnya pemborosan tapi ketidakcermatan penggunaan anggaran yang menganut perinsip-prinsip efektif, efesien dan akuntabilitas dan itu bagian dari unsur-unsur korupsi.
Selain itu juga narasi dan konten yang dibangun lebih terkesan mengarahkan pemilih, menurut Djusman unsurnya sudah cukup untuk di DKPP kan tegasnya.
“Saran kepada KPU dan Bawaslu Soppeng haruslah lebih banyak mendengar saran publik dan terbuka. Janganlah terkesan arogan atau tebal kuping karena sesungguhnya saran publik pada perinsipnya merupakan wujud peranserta masyarakat yang juga dijamin konstitusi, bertujuan untuk mewujudkan terselenggaranya pesta demokrasi yang baik dan harmonis ditengah masyarakat soppeng,” tegasnya.
Olehnya, ia menyampaikan bukan persoalan like dislike atau suka tidak suka, yang paling penting perihal mendasarnya hakikat demokrasi berpilkada yang dibiayai oleh negara merupakan hak publik untuk mengetahuinya bahkan termasuk memberi saran dan kritik apalagi berkaitan pengelolaan dan pertanggungjawaban anggaran.