SALAH satu prasyarat demokrasi yang sehat dan berkualitas adalah tegaknya hukum yang berkeadilan, setara, dan tanpa diskriminasi. Sayangnya, justru pada poin inilah kita menyaksikan titik lemah demokrasi kita.
Sejumlah indikator demokrasi internasional tampaknya mengkonfirmasi rendahnya kualitas demokrasi kita. Menurut laporan yang dipublikasikan Freedom House dengan judul Freedom in The World 2021, skor kebebasan Indonesia pada 2021 adalah sebesar 59 dari skala 0-100, dikategorikan sebagai negara yang “bebas sebagian”. Angka tersebut merupakan skor terendah dalam 5 tahun terakhir, di mana Indonesia memperoleh skor 65 di tahun 2017.
Freedom House menyebutkan, Indonesia memang telah mencapai kemajuan demokrasi yang mengesankan sejak jatuhnya rezim otoriter pada tahun 1998, yang terlihat dari terbangunnya pluralisme politik, media massa yang relatif bebas, dan transfer kekuasaan dari pusat ke daerah melalui kebijakan desentralisasi yang berjalan sukses dan damai.
Namun, negara ini terus berjuang mengatasi sejumlah tantangan, termasuk korupsi sistemik, diskriminasi dan kekerasan terhadap kelompok minoritas, ketegangan separatis di wilayah Papua, dan penggunaan undang-undang pencemaran nama baik dan penistaan yang dipolitisasi. Lebih-lebih, sejumlah mahasiswa, akademisi, dan politisi di Indonesia ditangkap oleh pihak berwenang yang berupaya untuk mencegah kritik publik terhadap pemerintah terkait berbagai masalah.
Indeks demokrasi yang dikeluarkan Economist Intelligence Unit (EIU) juga bernada sama. Indonesia menduduki peringkat ke-52 dunia dengan skor 6,71. EIU mengelompokkan Indonesia sebagai negara dengan demokrasi yang cacat (flawed democracy). Menurut EIU, negara dalam kategori demokrasi cacat umumnya sudah memiliki sistem pemilu yang bebas dan adil, serta menghormati kebebasan sipil dasar. Namun, negara dalam kelompok ini masih memiliki masalah mendasar seperti rendahnya kebebasan pers, budaya politik yang antikritik, partisipasi politik warga yang lemah, serta kinerja pemerintah yang belum optimal.
Dibanding demokrasi maju seperti di Amerika Serikat, Inggris, atau Kanada yang sudah berusia lebih satu abad, demokrasi kita memang masih amat muda. Dihitung dari munculnya gerakan reformasi yang menumbangkan diktator Orde Baru pada 1998, umur demokrasi kita masih 24 tahun. Meski begitu, usia tak semestinya menjadi alasan untuk pasrah menerima kondisi demokrasi kita kini. Justru di situlah letak tantangan kita: menjadi demokrasi maju meski di usia muda.
Tentu saja itu tidak mudah dicapai. Tapi dengan pengalaman sejarah panjang jatuh-bangun berdemokrasi, dengan instituti-instituti penopang demokrasi yang matang (seperti pemilu, triaspolitika, dan partai politik), serta dengan kondisi sosial ekonomi yang relatif stabil dan cenderung terus membaik, cita-cita itu justru amatlah wajar. Ditinjau dari semua indikator, tak ada tanda-tanda Indonesia menuju negara gagal. Sebaliknya, berbagai kondisi struktural, institusional, dan kultural yang dimiliki bangsa Indonesia menjadi modal kuat mengapa demokrasi terus terjaga.
Para pengamat menyebut demokrasi Indonesia telah terkonsolidasi. Dalam kerangka konsolidasi demokrasi yang dikembangkan oleh sarjana ilmu politik Linz dan Stepan (1996), mencakup dimensi sikap, perilaku, dan konstitusi, tahap transisi demokrasi sesungguhnya telah terlewati.
Sebagian besar warga, terutama aktor agama baik Muslim dan non-Muslim, tunduk pada cara dan strategi demokratis dalam memperoleh kekuasaan di semua tingkatan. Militer, yang pernah menjadi tulang punggung rezim otoriter Soeharto selama lebih dari 30 tahun, telah berjarak dengan kekuasaan, kembali ke barak, dan semakin profesional. Selain itu, kelompok-kelompok militan dan separatis makin terpojok dan tidak mampu meningkat menjadi kekuatan yang membahayakan kedaulatan negara.
Di saat yang sama, kita memiliki lembaga-lembaga demokratis yang cukup kuat. Sejak tahun 1999, kita telah memiliki pemilu yang bebas dan adil, dan mulai tahun 2004 kita menerapkan pemilu langsung presiden dan para pemimpin di tingkat lokal, gubernur dan wali kota. Kantor legislatif di semua jajaran berjalan relatif baik, di mana pada saat yang sama semua partai politik dan elitenya berkomitmen untuk tunduk pada Konstitusi dan sistem demokrasi.
Ada sejumlah elite yang menyuarakan perlunya pemimpin yang kuat, dengan romantisme kembali ke rezim Orde Baru. Namun, pemilihan presiden terakhir membuktikan bahwa mantan jenderal yang mencoba untuk membangkitkan sentimen masa pra-demokrasi dan ketegasan otoritarianisme, meski cukup bisa merebut simpati publik, tidak berhasil memenangkan pemilu.
Singkatnya, seperti yang ditegaskan oleh Stepan (2013), demokrasi Indonesia semakin menjadi “satu-satunya aturan permainan” (the only game in town), bahkan untuk para penantangnya.
Ilmuwan politik O’Donnell (2001) percaya bahwa selama pemilu dilembagakan, demokrasi elektoral (polyarchy) cenderung bertahan. Oleh karena itu, ia berpendapat, masalah utama dengan banyak demokrasi baru bukanlah bahwa mereka kekurangan pelembagaan, melainkan bahwa beberapa demokrasi elektoral memiliki dua jenis lembaga: satu formal dan lainnya tidak resmi.
O’Donnell mendefinisikan institusi demokrasi formal sebagai organisasi yang memiliki dasar konstitusional termasuk legislatif, yudikatif, partai politik, dan pemilu yang adil. Poin utama tentang lembaga ini adalah fungsi dan perannya dalam mempengaruhi proses pengambilan keputusan dalam demokrasi.
Berfungsinya lembaga-lembaga demokrasi formal mendasari daya tahan demokrasi, di mana lembaga-lembaga politik itu memfasilitasi kepentingan publik secara konstitusional. Lembaga-lembaga formal berfungsi sebagai saluran penting antara lembaga-lembaga negara dan kelompok individu dan masyarakat yang menyuarakan berbagai kepentingan dan identitas. Dalam prakteknya, negara dapat memiliki sistem partai yang lemah namun demokrasi yang sangat stabil dan sah. Menurut Diamond (1999), faktor yang paling penting dalam memfasilitasi kelangsungan hidup konsolidasi demokrasi adalah kekuatan lembaga formal demokrasi.
Sebaliknya, lembaga informal dalam demokrasi ditandai dengan partikularisme. Istilah ini mengacu secara luas untuk berbagai jenis hubungan non-universal, mulai dari patronase, nepotisme, dan klientelisme yang, di bawah aturan formal kelembagaan demokrasi, akan dianggap korup (O’Donnell 2001).
Bahkan, beberapa demokrasi elektoral sebenarnya ditandai dengan tidak efektifnya, lemah, dan rendahnya kualitas lembaga-lembaga politik. Lembaga-lembaga ini benar-benar ada, tetapi mereka tidak bekerja dengan baik. Kondisi ini, pada gilirannya, menyebabkan fungsi praktik non-formal seperti klientelisme, patrimonialisme, kartel politik, dan korupsi (O’Donnell 1996).
Pada tataran inilah sebenarnya kita dihadapkan pada titik lemah demokrasi kita seperti disinggung di awal tulisan ini. Lembaga Transparency International mengungkap posisi peringkat Indonesia menurun menjadi berada di urutan ke-90 dari 176 negara yang diukur. Padahal sebelumnya Indonesia berada diperingkat ke-88. Di antara negara-negara Asia Tenggara, skor yang diraih Indonesia hanya di atas Thailand. Namun skor IPK Indonesia tahun 2016 ini masih berada di bawah Malaysia, Brunei, dan Singapura.
Karena itu, untuk memperkuat demokrasi Indonesia, atau meningkatkan kualitas demokrasi, tidak ada cara lain selain dengan memperkuat penegakan hukum. Pendeknya, memperkuat elemen-elemen fundamental pemerintah. Negara kuat bukan berarti negara harus otoriter, melainkan negara yang menjalankan undang-undang dan menegakkan hukum secara konsisten, tegas, tanpa kompromi dan diskriminasi. Karena dengan jalan inilah, korupsi, premanisme, dan berbagai upaya menghancurkan sendi-sendi kehidupan bernegara serta upaya membajak kepentingan umum menjadi kepentingan kelompok dan golongan tertentu dapat dihindari.
Survei yang digelar oleh Global Corruption Barometer (GBC) 2017 menemukan bahwa mayoritas responden menyatakan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) merupakan lembaga paling korup. Survei itu menujukkan bahwa 54 persen responden menilai DPR sebagai lembagai paling korup, disusul oleh lembaga birokrasi 50 persen, dewan perwakilan rakyat daerah 47 persen, dan Direktorat Jenderal pajak 45 persen. Polri ada di posisi kelima di mana ada 40 persen responden yang menyebutnya korup. Dibandingkan survei pada 2013 lalu, yang menilai Polri adalah lembaga terkorup, dalam survei terakhir ini Polri memang membaik, meski masih memprihatinkan.
Karena itu, dengan kondisi lembaga penegakan hukum yang seperti itu, harapan tertinggi sementara ini adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Mengacu pada masih buruknya kinerja penegakan hukum, fokus penanganan korupsi KPK mestinya diarahkan pada tiga rute. Pertama, pembersihan instansi-instansi penegak hukum yang potensial menjadi sarang mafia korupsi, yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan advokat. Kedua, penanganan kasus-kasus korupsi skala besar, seperti dugaan korupsi terkait. Ketiga, berkonsentrasi pada lembaga tinggi negara, tempat dibuatnya kebijakan-kebijakan penting yang menjadi pangkal megakorupsi. Artinya, musuh KPK adalah para pejabat tinggi di legislatif, eksekutif, maupun yudikatif.
Demokrasi memang jalan yang terjal dan berliku. Kita memiliki infrastruktur yang memadai untuk menjadi demokrasi yang sukses dan maju. Penegakan rule of law adalah tugas bersama kita agar demokrasi kita benar-benar punya penopang yang kuat sekaligus berkualitas.
Penulis:
Asmar Oemar Saleh
(Advokat, mantan Deputi III bidang Penanggulangan Pelanggaran HAM pada kantor Menneg Urusan HAM RI, Pendiri dan Ketua pertama Anti Corruption Committee (ACC) Sulawesi/Anggota Dewan Pakar Ikatan Keluarga Alumni Jogyakarta Sulselbar/IKAJOSS)