HERALDMAKASSAR.COM – Pelaksana Tugas (Plt) Ketua TP PKK Sulsel, Naoemi Octarina, mengikuti secara virtual Lokakarya Lintas Sektor Penguatan Program Pengelolaan Gizi Buruk Terintegrasi (PGBT) Tingkat Provinsi Sulsel, di Rujab Wagub Sulsel (Selasa, 6/7).
Naoemi Octarina, Mengaku masalah gizi anak dan stunting, merupakan persoalan yang cukup kompleks. Apalagi, pandemi Covid-19 juga berpengaruh pada ekonomi masyarakat. Disamping itu, pandemi juga membuat para orangtua takut membawa anak mereka ke puskesmas atau posyandu.
” Masalah ini harus ditanggulangi bersama. Kita harus mulai mengintervensi pada 1.000 hari pertama kehidupan. Yakni mulai masa kehamilan sampai anak berusia dua tahun. Pasangan yang akan menikah, juga harus diedukasi. Ibu hamil tidak boleh stres, karena akan berpengaruh terhadap janin,” ungkapnya.
Ia menyebutkan peran PKK cukup besar dalam penanganan masalah stunting dan gizi anak. PKK adalah organisasi pelopor keluarga, dan bisa membantu menurunkan tingkat stunting di Sulsel melalui program-programnya. Meski demikian, PKK tidak bisa berjalan sendiri. Semua stakeholder harus sejalan. Makin banyak yang bergerak, efeknya akan lebih luas.
” Posyandu harus menjadi garda terdepan dalam penanganan gizi buruk. Karena itu, tenaga kesehatan di posyandu harus diberi fasilitas memadai, hingga pengetahuan. Intinya, bagaimana pemerintah provinsi dan pusat bisa bersinergi, kemudian diturunkan ke mitranya. Persepsi tentang stunting juga harus seragam, satu pemahaman,” sebutnya.
Lebih jauh Plt Ketua TP PKK Sulsel mengaku orangtua memiliki peran yang sangat penting. Karena itu, para orangtua harus diedukasi. Ada beberapa kasus, gizi buruk justru terjadi pada anak-anak yang orangtuanya memiliki kemampuan ekonomi yang baik.
“Gizi buruk dan gizi kurang harus ditanggulangi bersama, karena pada balita kurang gizi kronis, akan menyebabkan stunting. Berpengaruh juga pada kecerdasan anak, menyebabkan gangguan kesehatan, rentan terhadap penyakit, hingga beresiko pada tingkat kematian anak,” jelasnya.
Berdasarkan riset kesehatan dasar tahun 2018, proporsi kasus gizi buruk dan gizi kurang pada balita, 17,7 persen. Provinsi Sulsel, di atas angka rata-rata nasional, 22,9 persen. Karena itu, masalah gizi anak ini harus menjadi fokus utama semua stakeholder.
” Anak-anak kita butuh asupan gizi yang optimal,” pungkasnya.
Sementara itu, Henky Widjaja, CFO UNICEF Sulawesi dan Maluku, Mengucapkan mengucapkan terima kasih secara khusus kepada Plt Ketua TP PKK Sulsel yang memberikan peran yang luar biasa dalam penanganan gizi buruk, khususnya stunting.
” Kami mengucapkan terima kasih secara khusus kepada Ibu Naoemi Octarina, karena Tim Penggerak PKK Sulsel memberikan peran yang luar biasa dalam penanganan gizi buruk, khususnya stunting pada anak-anak,” ungkapnya.
Ia menyebutkan gizi buruk bisa dicegah sebelum kondisinya makin parah. Saat ini, sudah ada 70 negara di dunia memaksimalkan PGBT, yang berfokus pada integrasi pengelolaan kurang gizi akut kedalam sistem kesehatan yang telah ada di semua tingkatan.
Ada empat komponen PGBT, yaitu mobilisasi masyarakat untuk penemuan dini kasus dan tindak lanjut, layanan rawat jalan bagi balita gizi buruk tanpa komplikasi di puskesmas/pustu, layanan rawat inap bagi balita gizi buruk dengan komplikasi medis di RSU/Puskesmas Rawat Inap, dan Pemberian Makanan Tambahan (PMT) dan konseling Pemberian Makanan Bayi dan Anak (PMBA).
” Kerjasama lintas sektor menjadi penopang utama PBGT. Dan PKK punya peran penting,” imbuhnya.
Lebih jauh Henky mengaku Pandemi Covid-19 bisa berpengaruh pada tingginya kasus gizi buruk. Kalangan menengah ke bawah, mengalami dampak ekonomi sehingga kesulitan dalam memenuhi kebutuhan gizi anak. Selain itu, masyarakat juga membatasi akses ke fasilitas kesehatan. Sehingga, ada resiko peningkatan kasus gizi buruk dalam satu tahun belakangan ini.
” Gizi buruk beresiko penyakit hingga kematian pada anak. Kekebalan tubuh mereka akan melemah,” sebutnya.
Ia menambahkan, Indonesia saat ini menghadapi triple burden gizi. Yaitu stunting, wasting, dan obesitas.
” Walaupun banyak kasus gizi buruk terjadi di masyarakat, namun yang mendapatkan perawatan masih rendah. Penyebabnya, akses pelayanan kesehatan masih terbatas, tidak semua kasus gizi buruk terdeteksi dini, hingga rendahnya pemahaman masyarakat tentang gizi buruk.” tutupnya.