Oleh Akbar Faizal
DEMO mahasiswa berjilid-jilid. Spanduk sepanjang ratusan meter bertuliskan ‘Potong Satu Generasi’ melintasi jalan-jalan utama Jakarta. Ikut menjadi menjadi tuntutan mahasiswa; Bubarkan Golkar. Ketua Umum saat itu, Akbar Tanjung, berjibaku menyelamatkan kendaraan Orde Baru itu. Berhasil. Tak lama, beberapa elit mencoba mengambil alih Golkar dari tangannya. Termasuk beberapa orang yang –saya tak tega menyebutnya– membiarkan Akbar Tanjung berjuang sendiri dan terjebak drama politik penyelamatan Golkar dari vonis publik saat itu. Kalimat Akbar Tanjung yang terkenal,”Anda dimana saat Golkar menderita dan mau dibubarkan?”. Dan, Akbar Tanjung memang harus rela ‘kehilangan kendali’ Golkar. Apakah Akbar Tanjung sakit hati? Saya tak tahu pasti. Toh apa pula urusannya saya mencari tahu soal itu.
Didirikan, dirancang dan lalu menjadi mesin utama pemerintahan diktator Soeharto. Golkar menikmati privilege luar biasa selama puluhan tahun. Saya bisa memahami jika Golkar tak bisa menerima jika mereka kalah dalam banyak kontestasi politik. Euforia itu melekat kuat hingga mereka dipaksa untuk memahami situasi pasca kalah berkali-kali dalam pemilu legislatif dan Pilpres.
Tak jelas benar siapa mengendalikan siapa pada masa keemasan itu. Apakah Pak Harto yang mengendalikan Golkar atau sebaliknya. Tapi pada 21 April 1998, Golkar secara alamiah menunjukkan kalau Pak Harto hanya ‘pion’ mereka. Pak Harto jatuh usai ditinggal para menterinya yang mundur dimotori Ginandjar Kartasasmita, pentolan Golkar. Bukan tanpa risiko keputusan amat sangat besar itu. Dicerca, dihina, direndahkan sebagai pengkhianat. Apakah Golkar khianati Pak Harto? Ini juga pertanyaan rumit. Beberapa tokoh kritis Golkar menyebut Pak Harto-lah yang mengkhianati mereka dengan menjadikannya tunggangan dan melukai demokrasi dengan tebasan pedang oligarki otoritariannya selama puluhan tahun. Kenikmatan kekuasaan yang mereka capai dari Pak Harto dipahami para kader garis keras ini sebagai ‘akibat’, bukan ‘sebab’.
Keberhasilan melewati fase kritis tuntutan pembubaran Golkar –selanjutnya menjadi Partai Golkar– kokoh tahan banting berikut kemampuan mengadaptasi diri secara cepat. Hantaman dahsyat kaum reformis yang harus dihadapi saat itu memaksa mereka belajar cepat. Tak mudah memang. Tapi berhasil. Jika dimungkinkan, sejarah kegemilangan Orde Baru ingin dihapuskan dari memori kolektif kita. Saya tak yakin apakah itu berhasil atau sebaliknya.
Beberapa pihak menyebut Golkar kejam ‘meninggalkan’ Pak Harto di saat paling krusial. Tapi bayangkan seandainya Ginandjar Kartasasmita dkk tetap memilih membentengi Pak Harto atas nama setia kawan. Kita tahu dimana akhirnya.
Dalam catatan politik saya selama 13 tahun terakhir di pusat pertarungan politik elit nasional, para kader, pengurus dan atau pekerja politik Partai Golkar bekerja dengan cara yang sangat berbeda. Karena mantera Cendana yang dulu demikian mujarab kini tak ada lagi maka mereka harus berusaha agar kesalahan masa lalu tak terulang sambil berharap rakyat melupakan kesewenangan kroni Pak Harto dimana mereka pernah dan menjadi aktor utama. Seluruh sumber daya politik, jaringan kuat dan naluri-naluri purba politik mereka nyalakan dan optimalkan. Meski Golkar relatif gagal melahirkan pemikir politik namun berhasil mencetak banyak aktor politik yang bertumbuh secara cepat dan dengan kemampuan politik praktis yang mengagumkan.
Dalam hal perilaku organisasi, secara kedalam (internal) mereka membuka mata dan pikiran akan segala kemungkinan. Termasuk perbedaan yang bahkan dilakukan dengan terbuka bahkan ekstrim. Sungguh berbeda dengan masa Pak Harto dulu yang menyerahkan segala nasib ke tangan Cendana dan antek-anteknya.
Secara keluar (eksternal), para kader Partai Golkar berusaha sekuat tenaga menunjukkan diri partai kuat. Mereka tak mudah percaya. Itulah alasan Golkar tak mudah menerima kehadiran orang baru. Setidaknya pada fase-fase awal reformasi. Meski hal itu mulai luntur yang terlihat pada beberapa hasil Munas Golkar terakhir, namun Partai Golkar sangat selektif pada orang baru. Analogi gerbong terakhir bagi pendatang tergambarkan disini terutama bagi layer menengah bawah. Tapi bukan itu yang menarik.
Tata cara Partai Golkar menyikapi segala problem dan konflik selalu memantik diskursus publik. Perubahan sikap dengan cara yang sangat ekstrim sering dilakukan dan membingungkan. Kejelian memahami kemana bandul politik mengebas lalu disikapi dengan cara yang sama. Mereka tak terganggu dengan risiko moral politik dua wajah (ambivalensi). Realitas politik dihadapi dengan perlakuan sama dalam hal cara mengelola segala problem dan rencana keputusan yang akan dilakukan berikut risikonya kelak.
Saya tiba-tiba mengingat esai Paul Ricouer –The Political Paradox– (1965), sebagai reaksi atas revolusi Hongaria. Kata Paul Ricouer, “politics only exist in great moments in ‘crisis'”. Menurut Paul, bahwa politik sejatinya memiliki asal muasal ganda –politik yang rasional, dan, politik yang durjana (a specifically political rasionality anda a specifically political evil). Dibuat dalam bahasa sederhana, Paul Recouer menegaskan demarkasi politik ditandai oleh rasionalitas dan wahana kekuasaan.
Para penggiat Partai Golkar tampaknya memahami betul cara mencapai kemenangan dihadapan realitas yang menghadirkan (risiko) ambivalensi tadi. Titik nadir yang pernah mereka hadapi dan jalani pada 1998 tak boleh terulang. Salah satu caranya, memainkan dan atau berdiri pada posisi aman dalam segala cuaca dan dengan cara apapun. Tapi saya tak tertarik menggunakan pendekatan Machiavelian disini sebab banyak pihak yang fasih mengutip Machiavelli hanya dari sudut pandang ‘The Prince’ (1513) dan mengabaikan pandangan moral republikan Machiavelli dalam karyanya yang lain yang sama dahsyatnya, The Discourse.
Kembali ke cara berpikir ala Golkar tadi, maka kelirulah adanya jika ingin memahami sikap, perilaku dan tindakan (anak-anak) Golkar dengan cara partai lain mengelola diri dan konflik masing-masing. Golkar bisa melakukan dan atau mengambil metode dan cara yang tak terkira. Termasuk berhadapan dengan logika publik. Misal, menafikan keputusan organisasi yang diambil secara konstitusional organisasional sebelumnya. Golkar dilatih untuk tidak gampang kaget apalagi sakit hati. Bukankah sebuah ketololan jika menyiapkan diri untuk sakit hati dalam (peristiwa) politik? Sayangnya anak-anak Golkar –seperti halnya anak-anak partai lainnya– gampang terpukau. Mungkin karena dosa turunan karena Golkar adalah ibu genealogis banyak partai saat ini.
Sebab keterpukauan –terutama pada figur– dalam skala yang berlebihan bisa menjadi racun efektif bagi masa depan politik kita. (*)
(Akbar Faizal/
Surabaya – Makassar, 09 Agustus 2020)