HERALDMAKASSAR.com – Majelis Hakim Pengadilan Negeri Makassar menunda pembacaan vonis kasus dugaan penipuan yang mendudukkan eks Bendahara Brimob Polda Sulsel, Iptu Yusuf Purwantoro sebagai terdakwa yang rencananya digelar, Rabu (1/7/2020).
“Kami belum selesai musyawarah sehingga putusan belum selesai. Nanti kita agendakan kembali di hari Kamis 9 Juli 2020,” kata Ketua Majelis Hakim, Zulkifli di dalam persidangan.
Terpisah, korban dugaan penipuan, A. Wijaya berharap Majelis Hakim memberikan rasa keadilan bagi dirinya yang telah menjadi korban dugaan penipuan yang dilakoni oleh terdakwa.
“Sampai sekarang saya harus menanggung beban membayar tagihan dari bank yang nilainya lumayan besar karena hingga detik ini terdakwa tidak ada itikad mengembalikan uang saya,” kata Wijaya ditemui di Pengadilan Negeri Makassar.
Ia sangat berharap Majelis Hakim betul-betul nantinya menghukum terdakwa dengan maksimal agar menjadi pelajaran tidak mengulang lagi perbuatannya dan utamanya tak ada lagi korban-korban lainnya yang mudah diperdaya seperti dirinya sekarang ini.
“Majelis Hakim saya kira punya nurani sehingga putusannya nanti bisa memberi efek jera kepada terdakwa. Seharusnya sebagai oknum aparat penegak hukum, terdakwa tidak menipu saya tapi justru menghindari perbuatan itu. Apalagi selama ini saya sangat baik sama dia,” terang Wijaya.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) Ridwan Saputra juga berharap yang sama kepada putusan Majelis Hakim nantinya.
“Saya kira fakta-fakta persidangan itu sangat jelas dan terang untuk menjadi dasar pertimbangan putusan Majelis Hakim nantinya,” ucap Ridwan ditemui usai persidangan.
Ia menjelaskan pihaknya sebelumnya telah menuntut maksimal terdakwa karena pertimbangan yang jelas.
Dimana terdakwa dinilai tak ada itikad baik untuk mengembalikan sepeser pun uang yang dipinjam dari korbannya.
Lebih dari itu, unsur-unsur pokok delik pasal dakwaan telah terbukti dalam persidangan diantaranya pada sidang agenda pemeriksaan terdakwa tepatnya 8 April 2020.
Dihadapan Majelis Hakim yang diketuai oleh Zulkifli dan dua Hakim anggota yakni Heyneng dan Suratno, terdakwa memberikan keterangan terkait tujuan dirinya meminta bantuan pinjaman uang senilai Rp1 miliar kepada korban, A. Wijaya saat itu.
Terdakwa menyangkali sejumlah keterangan saksi-saksi yang menyatakan bahwa tujuan ia meminjam uang ke korban adalah untuk membayar tunggakan dana tunjangan kinerja (tukin) personil Brimob Polda Sulsel yang saat itu mendekat akan jatuh tempo.
“Itu tidak benar. Kalau memang itu ada silahkan tunjukkan bukti tertulis karena soal pembayaran tukin di internal kepolisian seluruh Indonesia itu dibayarkan 11 Mei sementara pinjaman saya terjadi 27 Mei 2018,” kata terdakwa, Yusuf saat itu.
Menurutnya, peminjaman uang kepada korban untuk keperluan mantan atasannya, Kombes Pol Totok Lisdiarto saat itu.
“Pak Kombes Pol Totok meminta bantuan pinjaman uang. Saya lalu pinjam ke A. Wijaya karena Kombes Totok itu selain mantan pimpinan juga kami sangat akrab,” terang terdakwa, Yusuf.
Jawaban terdakwa itu pun langsung ditanggapi oleh JPU dengan memperlihatkan bukti obrolan antara terdakwa dan korban via whatsapp dihadapan Majelis Hakim. Alhasil setelah melihat bukti obrolan itu, terdakwa tampak diam dan tak bisa mengelak.
Dalam bukti obrolan antara terdakwa dan korban yang diperlihatkan JPU tertulis dengan jelas alasan terdakwa meminta bantuan korban untuk dipinjamkan uang senilai Rp1 miliar yakni untuk keperluan pembayaran tunggakan dana tunjangan kinerja (tukin) personil atau untuk keperluan internal Brimob Polda Sulsel yang mendekat itu akan jatuh tempo.
Tak sampai disitu, keterangan terdakwa lainnya yang dinilai JPU masuk dalam unsur rentetan kebohongan, yakni keterangan terdakwa yang membantah keterangan saksi korban yang menyatakan bahwa terdakwa mengaku belum bisa mengembalikan uang korban yang ia pinjam sesuai yang dijanjikan tepatnya tanggal 1 Juni 2018, karena nego dengan KPPN II Makassar tidak dapat membantu.
Dimana sebelumnya menurut keterangan saksi korban dan bukti percakapan antara terdakwa dengan korban, tertulis bahwa terdakwa telah menemui KPPN II Makassar sekaligus menego terkait aturan dana belanja pegawai yang dibayarkan di hari kerja bulan berjalan yang ternyata dana masuk di rekening bendahara nanti Senin tanggal 4 Juni karena Jumat sampai Minggu KPPN libur.
“Itu tidak benar. Tidak ada kaitannya dengan KPPN. Percakapan saya ke korban saat itu bahwa saya coba nego dengan rekanan,” kata terdakwa, Yusuf.
Meski sempat berkilah, terdakwa akhirnya tampak tak berkutik saat JPU memperlihatkan bukti obrolan terdakwa dengan korban via whatsapp terkait itu didepan Majelis Hakim.
Dimana dalam bukti obrolan tersebut dengan jelas tertulis bahwa terdakwa memang pernah mengatakan ke korban via whatsapp jika kendala pengembalian uang korban karena KPPN tidak bisa memproses kepentingan terdakwa.
Adapun pegawai yang dimaksud dalam bukti percakapan antara terdakwa dengan korban via whatsapp yang diperlihatkan oleh JPU, kata terdakwa, itu yang dimaksud adalah pegawai Brimob Polda Sulsel.
Dengan adanya fakta-fakta persidangan diatas, maka ia berharap dapat menjadi pertimbangan Majelis Hakim nantinya dalam memutuskan perkara dugaan penipuan yang dilakoni oleh terdakwa.
“Itu harapan kita bersama. Kami JPU optimis pandangan Majelis Hakim sama dengan kami,” harap Ridwan.
Terdakwa Dituntut 46 Bulan dan Ditahan di Lapas Klas 1 Makassar
Jaksa Penuntut Umum (JPU), Ridwan Saputra sebelumnya menuntut berat Iptu Yusuf Purwantoro, terdakwa dalam perkara pidana dugaan penipuan dan penggelapan senilai Rp1 miliar pada sidang yang berlangsung di Pengadilan Negeri Makassar, Rabu 22 April 2020.
Dihadapan Majelis Hakim yang diketuai oleh Zulkifli itu, JPU memberikan tuntutan 3 tahun 10 bulan atau 46 bulan kepada eks Bendahara Brimob Polda Sulsel itu.
“Terdakwa kita tuntut maksimal sesuai dengan Pasal 378 KUHP yakni 3 tahun 10 bulan penjara,” kata Jaksa Penuntut Umum (JPU), Ridwan Saputra sebelumnya.
Tak hanya tuntutan pidana maksimal, JPU juga menuntut agar eks Bendahara Brimob Polda Sulsel itu segera ditahan di Lapas Klas 1 Makassar.
“Dalam tuntutan kita juga minta ke Majelis Hakim agar terdakwa dimasukkan dalam sel tahanan Lapas Makassar,” jelas Ridwan.
Dakwaan Jaksa
Dalam perkara dugaan tindak pidana penipuan bernomor 115/Pid.B/2020/PN Mks, Jaksa Penuntut Umum sebelumnya mendakwa eks Bendahara Brimob Polda Sulsel, Yusuf Purwantoro dengan ancaman Pasal 378 KUHPidana yang ancaman pidananya maksimal 4 tahun penjara.
Polisi berpangkat Inspektur Polisi Satu itu terjerat perkara dugaan penipuan saat ia menemui korbannya, A. Wijaya di Kabupaten Sidrap untuk meminta tolong dipinjamkan uang sebesar Rp1 miliar dengan alasan ingin membayar uang tunjangan kinerja (tukin) seluruh personil Brimob Polda Sulsel yang sebelumnya telah ia gunakan guna kebutuhan lain.
Karena mengingat terdakwa merupakan kawan sekolahnya dulu, korban pun memberikan bantuan dana sesuai yang diminta oleh terdakwa melalui via transfer.
Namun belakangan uang yang dipinjam tersebut, tak kunjung dikembalikan oleh terdakwa hingga batas tempo yang dijanjikan. Terdakwa malah belakangan terus menghindar dengan memutuskan komunikasi dengan terdakwa.
“Itikad baiknya hingga saat ini memang sudah tak ada,” kata korban, A. Wijaya.
Atas perbuatan terdakwa, selain menanggung kerugian besar, korban juga malu dengan keluarganya khususnya tantenya yang meminjamkan uang kepadanya.
“Uang yang saya berikan ke terdakwa itu uangnya tante dari hasil gadai sertifikat rumah di Bank. Jadi karena perbuatan terdakwa, saya harus menanggung beban membayar uang Bank,” terang Wijaya.
Ia berharap Majelis Hakim nantinya bisa menghukum terdakwa dengan hukuman maksimal agar kedepannya, terdakwa tak lagi mengulangi perbuatannya.
“Saya hanya minta keadilan kepada Majelis Hakim nanti agar terdakwa yang nota bene seorang penegak hukum bisa diganjar dengan hukuman berat karena dia telah menipu kami masyarakat kecil begini. Jaksa juga saya harapkan berikan tuntutan maksimal karena dalam fakta sidang unsur perbuatan pidana yang dituduhkan ke terdakwa itu sudah terpenuhi sempurna,” ungkap Wijaya
Selain pengakuan beberapa saksi tentang adanya peminjaman uang yang dilakukan terdakwa kepada korban senilai Rp1 miliar itu terungkap di dalam persidangan, juga adanya dukungan alat bukti lainnya berupa bukti transferan uang hingga salinan percakapan via pesan singkat terkait peminjaman uang oleh terdakwa ke korban yang dihadirkan JPU ke persidangan sebelumnya.
“Kami harap sekali lagi agar Majelis Hakim nantinya bisa memberi hukuman berat kepada terdakwa sebagaimana perbuatan terdakwa terbukti jelas dalam persidangan dan telah merugikan kami ini rakyat kecil,” Wijaya menandaskan.