HERALDMAKASSAR.com – Sidang pembelaan (pledoi) perkara pidana dugaan penipuan dan penggelapan yang mendudukkan mantan Bendahara Brimob Polda Sulsel, Iptu Yusuf Purwantoro sebagai terdakwa digelar di Pengadilan Negeri Makassar (PN Makassar), Rabu (3/6/2020).
Dalam pledoinya, terdakwa melalui Penasehat Hukumnya, Iqbal tetap bersikukuh tidak melakukan dugaan penipuan dan penggelapan seperti yang disangkakan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU).
“Jadi dalam pledoinya tadi, ia sama sekali tak ada itikad baik bahkan tidak mengakui perbuatannya,” kata JPU, Ridwan Saputra saat ditemui usai menghadiri sidang pembelaan (pledoi) perkara pidana dugaan penipuan dan penggelapan yang menjerat mantan Bendahara Brimob Polda Sulsel.
Meski, lanjut Ridwan, terdakwa dalam pledoinya mencoba kembali mengiming-imingi korban untuk segera mengembalikan uang milik korban senilai Rp1 miliar.
Tak hanya itu, terdakwa juga mencoba menggiring opini untuk mendapatkan pengampunan melalui pledoinya dengan mengungkapkan dampak dari kasus menjeratnya.
Dimana ia diberhentikan dari jabatannya sebagai Bendahara Brimob Polda Sulsel dan pangkatnya pun tertahan alias tidak dinaikkan.
“Itu kan internal satuan dia. Intinya dalam persidangan, delik pasal penipuan yang disangkakan kepada terdakwa itu terpenuhi secara sempurna sehingga kami berharap Majelis Hakim mengabaikan pembelaan terdakwa dan menjatuhkannya vonis berat sesuai fakta persidangan,” tutur Ridwan.
Mengenai itikad terdakwa yang tetap berupaya mengembalikan uang milik korban, Ridwan mengatakan itu sudah sejak awal selalu digemborkan oleh terdakwa tapi kenyataannya hingga perkara sebentar lagi akan putus di Pengadilan, terdakwa belum juga mengembalikan uang milik korban meski hanya sepeser rupiah.
“Dari fakta persidangan memang sangat jelas bahwa beragam alasan yang diutarakan terdakwa itu masuk dalam rentetan kebohongan. Yah termasuk iming-imingan mengembalikan uang yang hingga saat ini tidak ada yang terealisasi alias terdakwa tidak lakukan sama sekali sesuai niat yang ia gemborkan seperti dalam pledoinya,” terang Ridwan.
Terpisah, Ketua Aliansi Peduli Anti Korupsi Republik Indonesia (APAK RI), Mastan dimintai tanggapannya mengatakan sejak awal berharap Majelis Hakim nantinya menjatuhkan hukuman berat kepada mantan Bendahara Brimob Polda Sulsel itu.
“Kalau kami, Hakim harus merujuk pada fakta persidangan. Dimana delik pasal penipuan yang disangkakan oleh JPU itu memang terpenuhi sempurna sehingga tidak ada alasan Majelis tidak menghukum sesuai fakta persidangan tersebut,” terang Mastan.
Ia mengatakan keputusan Majelis Hakim nantinya akan menjadi penilaian masyarakat khususnya masyarakat pencari keadilan.
“Putusan Hakim harus beri efek jera. Sebagai anggota Polri harusnya terdakwa menghindari sangkutan jeratan pidana. Ini malah sebaliknya ia sebagai pelaku. Jadi Hakim harus betul-betul memberi putusan yang berpihak pada keadilan bagi korban sebagai masyarakat pencari keadilan,” jelas Mastan.
Sekali lagi Mastan berharap Majelis Hakim tidak terlena dengan isi pledoi (pembelaan) yang diajukan terdakwa. Tapi, kata dia, Majelis tetap fokus pada pertimbangan uraian fakta persidangan sebagai dasar penjatuhan hukuman (vonis) kepada terdakwa nantinya.
“Delik dakwaan kan semua terpenuhi. Kita harap Majelis tidak mengabaikan fakta persidangan yang ada,” kata Mastan.
Sejumlah uraian fakta hukum yang terjadi dalam persidangan-persidangan sebelumnya, lanjut Mastan, justru bisa memberikan motivasi kepada Majelis Hakim agar nantinya bersikap tegas seperti yang telah dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam memberikan tuntutan kepada terdakwa.
Ia mengatakan ada beberapa alasan hukum yang dapat menjadi dasar Majelis Hakim nantinya dalam memberikan putusan kepada terdakwa dalam perkara pidana dugaan penipuan dan penggelapan senilai Rp1 miliar tersebut.
Pertama, kata Mastan, berdasarkan keterangan saksi, pengakuan terdakwa hingga sejumlah petunjuk yang diperoleh dalam fakta persidangan.
Dimana, diperoleh fakta bahwa terdakwa sangat terang adalah pelaku yang melakukan tindak pidana penipuan sehingga unsur barang siapa telah terbukti.
Demikian juga terkait unsur yang dimaksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum keterkaitannya dengan perkara penipuan tersebut, kata Mastan, juga telah terbukti.
“Faktanya hingga saat ini kan terdakwa tidak mengembalikan uang korban sehingga unsur menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dinilai telah terpenuhi,” ungkap Mastan.
Kemudian unsur memakai nama palsu atau martabat palsu dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, menurut Mastan, itu juga telah terpenuhi.
Berdasarkan keterangan saksi dan terdakwa dalam persidangan, dimana saksi mengatakan dirinya ditemui oleh terdakwa dan kemudian terdakwa meminta bantuan agar dipinjamkan uang senilai Rp1 miliar guna membayarkan tunjangan kinerja (tukin) personil Brimob yang telah jatuh tempo atau untuk memenuhi kebutuhan internal Brimob.
Karena alasan kebutuhan mendesak itu, saksi korban lalu merasa tergerak untuk meminjamkan uang kepada terdakwa. Selain itu adanya iming-imingan dari terdakwa yang membuat saksi korban akhirnya terbujuk.
“Demikian juga dengan adanya keterangan terdakwa dalam persidangan yang mengaku memberikan uang yang dipinjam dari saksi korban kepada mantan atasannya (Kombes Pol Totok) untuk peruntukan bisnis lahan. Inilah yang dimaksud dengan salah satu unsur rangkaian kebohongan,” tutur Mastan.
Menurut dia, dengan melihat rentetan fakta persidangan tersebut, penjatuhan vonis berat nantinya itu cukup beralasan karena dana milik korban Rp1 miliar yang diambil oleh terdakwa jika dilihat dari sisi kualitas nilai ekonomi memang sangat besar sekali.
Apalagi, kata Mastan, terdakwa sama sekali tidak pernah mengembalikan uang milik korban dan juga dalam memberikan keterangan, terdakwa terkesan menyembunyikan fakta sebenarnya dari modus penipuan yang dilakukannya alias berbohong dipersidangan.
“Dipersidangan tidak ditemukan alasan yang dapat menghapus pertanggungjawaban pidana, baik alasan pembenar maupun alasan pemaaf sebagaimana diatur dalam Pasal 44, 48, 49, 50, 51 KUHP. Oleh karena semua unsur delik yang didakwakan terbukti, maka Kami yakin terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana penipuan, dan terdakwa harus dipertanggungjawabkan secara pidana perbuatannya tersebut,” Mastan menandaskan.
Tuntutan Jaksa 3 Tahun 10 Bulan
Jaksa Penuntut Umum (JPU), Ridwan Saputra sebelumnya menuntut berat terdakwa dalam perkara pidana dugaan penipuan dan penggelapan senilai Rp1 miliar pada sidang yang berlangsung di Pengadilan Negeri Makassar, Rabu 22 April 2020.
Dihadapan Majelis Hakim yang diketuai oleh Zulkifli itu, JPU memberikan tuntutan 3 tahun 10 bulan atau 46 bulan kepada Iptu Yusuf Purwantoro yang diketahui sebagai eks Bendahara Brimob Polda Sulsel itu.
“Terdakwa kita tuntut maksimal sesuai dengan Pasal 378 KUHP yakni 3 tahun 10 bulan penjara,” kata Jaksa Penuntut Umum (JPU), Ridwan Saputra.
Tak hanya tuntutan pidana maksimal, JPU juga menuntut agar eks Bendahara Brimob Polda Sulsel itu segera ditahan di Rumah Tahanan (Rutan) Makassar.
“Tadi dalam tuntutan kita juga minta ke Majelis Hakim agar terdakwa dimasukkan dalam sel tahanan Rutan Makassar,” jelas Ridwan.
Tuntutan maksimal, kata dia, melalui pertimbangan yang ada. Dimana terdakwa tak ada itikad baik untuk mengembalikan sepeser pun uang yang dipinjam dari korbannya.
Meski demikian, perbuatan meringankan terdakwa juga tetap masuk dalam pertimbangan pemberian tuntutan. Dimana terdakwa proaktif hadir selama persidangan berlangsung.
Sebelumnya pada sidang agenda pemeriksaan terdakwa tepatnya 8 April 2020, Jaksa Penuntut Umum (JPU) dinilai berhasil membuktikan terpenuhinya unsur-unsur pokok delik pasal yang didakwakan kepada terdakwa yakni pasal 378 KUHPidana tentang dugaan penipuan.
Dimana dihadapan Majelis Hakim yang diketuai oleh Zulkifli dan dua Hakim anggota yakni Heyneng dan Suratno, terdakwa memberikan jawaban atas pertanyaan Jaksa Penuntut Umum (JPU), Ridwan Saputra yang dinilai mendukung terpenuhinya unsur-unsur pokok dalam pasal dugaan tindak pidana penipuan yaitu tentang adanya unsur rentetan kebohongan.
Diantaranya keterangan terdakwa saat menanggapi pertanyaan JPU tentang tujuan dirinya meminta bantuan pinjaman uang senilai Rp1 miliar kepada korban, A. Wijaya saat itu.
Terdakwa menyangkali sejumlah keterangan saksi-saksi yang menyatakan bahwa tujuan ia meminjam uang ke korban adalah untuk membayar tunggakan dana tunjangan kinerja (tukin) personil Brimob Polda Sulsel yang saat itu mendekat akan jatuh tempo.
“Itu tidak benar. Kalau memang itu ada silahkan tunjukkan bukti tertulis karena soal pembayaran tukin di internal kepolisian seluruh Indonesia itu dibayarkan 11 Mei sementara pinjaman saya terjadi 27 Mei 2018,” kata terdakwa, Yusuf.
Menurutnya, peminjaman uang kepada korban untuk keperluan mantan atasannya, Kombes Pol Totok Lisdiarto saat itu.
“Pak Kombes Pol Totok meminta bantuan pinjaman uang. Saya lalu pinjam ke A. Wijaya karena Kombes Totok itu selain mantan pimpinan juga kami sangat akrab,” terang terdakwa, Yusuf.
Jawaban terdakwa itu pun langsung ditanggapi oleh JPU dengan memperlihatkan bukti obrolan antara terdakwa dan korban via whatsapp dihadapan Majelis Hakim. Alhasil setelah melihat bukti obrolan itu, terdakwa tampak diam dan tak bisa mengelak.
Dalam bukti obrolan antara terdakwa dan korban yang diperlihatkan JPU tertulis dengan jelas alasan terdakwa meminta bantuan korban untuk dipinjamkan uang senilai Rp1 miliar yakni untuk keperluan pembayaran tunggakan dana tunjangan kinerja (tukin) personil atau untuk keperluan internal Brimob Polda Sulsel yang mendekat itu akan jatuh tempo.
Tak sampai disitu, keterangan terdakwa lainnya yang dinilai JPU masuk dalam unsur rentetan kebohongan, yakni keterangan terdakwa yang membantah keterangan saksi korban yang menyatakan bahwa terdakwa mengaku belum bisa mengembalikan uang korban yang ia pinjam sesuai yang dijanjikan tepatnya tanggal 1 Juni 2018, karena nego dengan KPPN II Makassar tidak dapat membantu.
Dimana sebelumnya menurut keterangan saksi korban dan bukti percakapan antara terdakwa dengan korban, tertulis bahwa terdakwa telah menemui KPPN II Makassar sekaligus menego terkait aturan dana belanja pegawai yang dibayarkan di hari kerja bulan berjalan yang ternyata dana masuk di rekening bendahara nanti Senin tanggal 4 Juni karena Jumat sampai Minggu KPPN libur.
“Itu tidak benar. Tidak ada kaitannya dengan KPPN. Percakapan saya ke korban saat itu bahwa saya coba nego dengan rekanan,” kata terdakwa, Yusuf.
Meski sempat berkilah, terdakwa akhirnya tak berkutik saat JPU memperlihatkan bukti obrolan terdakwa dengan korban via whatsapp terkait itu didepan Majelis Hakim.
Dimana dalam bukti obrolan tersebut dengan jelas tertulis bahwa terdakwa memang pernah mengatakan ke korban via whatsapp jika kendala pengembalian uang korban karena KPPN tidak bisa memproses kepentingan terdakwa.
Adapun pegawai yang dimaksud dalam bukti percakapan antara terdakwa dengan korban via whatsapp yang diperlihatkan oleh JPU, kata terdakwa, itu yang dimaksud adalah pegawai Brimob Polda Sulsel.
Terdakwa Sebut Keterlibatan Eks Dansat Brimob Polda Sulsel
Tak hanya membuktikan adanya unsur rentetan kebohongan, JPU juga dinilai mampu membuat terdakwa berterus terang menyebut adanya dugaan keterlibatan pihak lain dalam skandal ‘penipuan’ senilai Rp1 miliar tersebut.
Dimana sejak awal sidang agenda pemeriksaan terdakwa berjalan, terdakwa terus menyebut nama mantan atasannya, Kombes Pol Totok Lisdiarto.
Terdakwa mengaku bahwa uang yang ia pinjam dari korban A. Wijaya, diberikan kepada perwira berpangkat tiga bunga itu. Meski kepada korbannya, terdakwa sebelumnya beralasan jika tujuan meminjam uang ke korban guna kebutuhan menutupi tunggakan uang tukin personil atau kepentingan internal Brimob Polda Sulsel sebagaimana keterangan saksi-saksi dihadapan persidangan sebelumnya serta adanya bukti obrolan terdakwa dengan korban via whatsapp yang telah dijadikan oleh JPU sebagai bagian dari alat bukti.
Setelah korban memberikan uang senilai Rp1 miliar sesuai permintaan terdakwa, uang itu kemudian diberikan kepada Totok untuk digunakan berbisnis tanah.
“Setelah uang ditransfer, saya lalu berikan ke Kombes Pol Totok. Memang sejak awal dia sering meminta tolong. Dia mantan atasan kami dan sangat akrab dengan kami,” ungkap Yusuf menanggapi pertanyaan Majelis Hakim yang turut mempertanyakan kemana rimbanya uang yang didapatkan terdakwa dari korban.
Meski sejak awal terdakwa kerap menjelaskan keterlibatan Totok hingga mengaku bahwa uang yang dipinjam dari korban telah diberikan ke mantan atasannya itu, terdakwa tampak memasang badan jika semua kesalahan yang terjadi akibat perbuatannya sendiri.
“Kesalahan ini perbuatan saya Majelis,” jawab Yusuf saat itu menanggapi pertanyaan Majelis Hakim tentang siapa yang punya perbuatan sehingga menimbulkan kerugian bagi korban.
Setelah agenda sidang pemeriksaan terdakwa usai dilaksanakan, Majelis Hakim lalu menutup persidangan dan mengagendakan ulang tahapan sidang berikutnya dua pekan mendatang.
“Pembacaan tuntutan nanti tanggal 22 April 2019 yah. Ok sidang kita tutup dengan resmi dan akan dibuka kembali pada dua pekan mendatang,” ucap Zulkifli, Ketua Majelis Hakim perkara pidana dugaan penipuan dan penggelapan yang mendudukkan eks Bendahara Brimob Polda Sulsel, Iptu Yusuf Purwantoro di kursi pesakitan saat menutup sidang.
Sekedar diketahui, dalam perkara dugaan pidana penipuan bernomor 115/Pid.B/2020/PN Mks, Jaksa Penuntut Umum sebelumnya mendakwa mantan Bendahara Brimob Polda Sulsel, Yusuf Purwantoro dengan ancaman Pasal 378 KUHPidana yang ancaman pidananya maksimal 4 tahun penjara.
Polisi berpangkat Inspektur Polisi Satu itu terjerat perkara dugaan penipuan saat ia menemui korbannya, A. Wijaya di Kabupaten Sidrap untuk meminta tolong dipinjamkan uang sebesar Rp1 miliar dengan alasan ingin membayar uang tunjangan kinerja (tukin) seluruh personil Brimob Polda Sulsel yang sebelumnya telah ia gunakan guna kebutuhan lain.
Karena mengingat terdakwa merupakan kawan sekolahnya dulu, korban pun memberikan bantuan dana sesuai yang diminta oleh terdakwa melalui via transfer.
Namun belakangan uang yang dipinjam tersebut, tak kunjung dikembalikan oleh terdakwa hingga batas tempo yang dijanjikan. Terdakwa malah belakangan terus menghindar dengan memutuskan komunikasi dengan terdakwa.
“Itikad baiknya hingga saat ini memang sudah tak ada,” kata korban, A. Wijaya.
Atas perbuatan terdakwa, selain menanggung kerugian besar, korban juga malu dengan keluarganya khususnya tantenya yang meminjamkan uang kepadanya.
“Uang yang saya berikan ke terdakwa itu uangnya tante dari hasil gadai sertifikat rumah di Bank. Jadi karena perbuatan terdakwa, saya harus menanggung beban membayar uang Bank,” terang Wijaya.
Ia berharap Majelis Hakim nantinya bisa menghukum terdakwa dengan hukuman maksimal agar kedepannya, terdakwa tak lagi mengulangi perbuatannya.
“Saya hanya minta keadilan kepada Majelis Hakim nanti agar terdakwa yang nota bene seorang penegak hukum bisa diganjar dengan hukuman berat karena dia telah menipu kami masyarakat kecil begini. Jaksa juga saya harapkan berikan tuntutan maksimal karena dalam fakta sidang unsur perbuatan pidana yang dituduhkan ke terdakwa itu sudah terpenuhi sempurna,” ungkap Wijaya
Selain pengakuan beberapa saksi tentang adanya peminjaman uang yang dilakukan terdakwa kepada korban senilai Rp1 miliar itu terungkap di dalam persidangan, juga adanya dukungan alat bukti lainnya berupa bukti transferan uang hingga salinan percakapan via pesan singkat terkait peminjaman uang oleh terdakwa ke korban yang dihadirkan JPU ke persidangan sebelumnya.
“Kami harap sekali lagi agar Majelis Hakim nantinya bisa memberi hukuman berat kepada terdakwa sebagaimana perbuatan terdakwa terbukti jelas dalam persidangan dan telah merugikan kami ini rakyat kecil,” Wijaya menandaskan.