Beranda Sulsel Skandal Penipuan, Eks Bendahara Brimob Polda Sulsel Dituntut 3 Tahun 10 Bulan...

Skandal Penipuan, Eks Bendahara Brimob Polda Sulsel Dituntut 3 Tahun 10 Bulan Penjara

Sidang perkara dugaan pidana penipuan eks Bendahara Brimob Polda Sulsel, Iptu Yusuf di Pengadilan Negeri Makassar

HERALDMAKASSAR.com – Jaksa Penuntut Umum (JPU), Ridwan Saputra menuntut berat terdakwa dalam perkara pidana dugaan penipuan dan penggelapan senilai Rp1 miliar pada sidang yang berlangsung di Pengadilan Negeri Makassar, Rabu (22/4/2020).

Dihadapan Majelis Hakim yang diketuai oleh Zulkifli itu, JPU memberikan tuntutan 3 tahun 10 bulan atau 46 bulan kepada Iptu Yusuf Purwantoro yang diketahui sebagai eks Bendahara Brimob Polda Sulsel itu.

“Terdakwa kita tuntut maksimal sesuai dengan Pasal 378 KUHP yakni 3 tahun 10 bulan penjara,” kata Jaksa Penuntut Umum (JPU), Ridwan Saputra.

Tak hanya tuntutan pidana maksimal, JPU juga menuntut agar eks Bendahara Brimob Polda Sulsel itu segera ditahan di Rumah Tahanan (Rutan) Makassar.

“Tadi dalam tuntutan kita juga minta ke Majelis Hakim agar terdakwa dimasukkan dalam sel tahanan Rutan Makassar,” jelas Ridwan.

Tuntutan maksimal, kata dia, melalui pertimbangan yang ada. Dimana terdakwa tak ada itikad baik untuk mengembalikan sepeser pun uang yang dipinjam dari korbannya.

Meski demikian, perbuatan meringankan terdakwa juga tetap masuk dalam pertimbangan pemberian tuntutan. Dimana terdakwa proaktif hadir selama persidangan berlangsung.

“Untuk agenda pembacaan pledoi (pembelaan) terdakwa itu nanti tanggal 13 Mei 2020,” ujar Ridwan.

Terpisah, Ketua DPP APAK Sulsel (Aliansi Peduli Anti Korupsi Sulawesi Selatan), Mastan dimintai tanggapannya mengakui cukup mengapresiasi kinerja JPU yang akhirnya memberikan tuntutan maksimal kepada eks Bendahara Brimob Polda Sulsel dalam perkara dugaan tindak pidana penipuan dan penggelapan tersebut.

“Sejak awal memang seharusnya Jaksa memberikan penuntutan yang berat sifatnya kepada terdakwa, sehingga nantinya oleh Majelis Hakim akan menjatuhkan hukuman yang berat pula kepada terdakwa,” kata Mastan via telepon.

Tuntutan hingga penjatuhan vonis berat nantinya, lanjut Mastan, itu cukup beralasan karena dana milik korban Rp1 miliar yang diambil oleh terdakwa jika dilihat dari sisi kualitas nilai ekonomi memang sangat besar sekali.

Apalagi, kata Mastan, terdakwa sama sekali tidak pernah mengembalikan uang milik korban dan juga dalam memberikan keterangan, terdakwa terkesan menyembunyikan fakta sebenarnya dari modus penipuan yang dilakukannya alias berbohong dipersidangan.

“Tuntutan Jaksa 3 tahun 10 bulan penjara disertai perintah masuk itu telah menunjukan bahwa proses penegakan hukum dalam persidangan sangat tersentuh rasa keadilan bagi korban dalam pengamatan kami LSM APAK Sulsel,” ungkap Mastan.

Ia berharap Majelis Hakim nantinya juga dapat mempertahankan putusan atau vonis yang diambilnya demi untuk penegakan hukum yang berkeadilan kepada korban yang merupakan masyarakat kecil tersebut.

“Kita tentu berharap Majelis Hakim juga nantinya bersikap yang sama seperti Jaksa agar penegakan hukum betul-betul memberikan rasa keadilan bagi korban yang dizalimi oleh terdakwa yang diketahui berstatus anggota Polri itu,” Mastan menandaskan.

Sebelumnya pada sidang agenda pemeriksaan terdakwa tepatnya 8 April 2020, Jaksa Penuntut Umum (JPU) dinilai berhasil membuktikan terpenuhinya unsur-unsur pokok delik pasal yang didakwakan kepada terdakwa yakni pasal 378 KUHPidana tentang dugaan penipuan.

Dimana dihadapan Majelis Hakim yang diketuai oleh Zulkifli dan dua Hakim anggota yakni Heyneng dan Suratno, terdakwa memberikan jawaban atas pertanyaan Jaksa Penuntut Umum (JPU), Ridwan Saputra yang dinilai mendukung terpenuhinya unsur-unsur pokok dalam pasal dugaan tindak pidana penipuan yaitu tentang adanya unsur rentetan kebohongan.

Diantaranya keterangan terdakwa saat menanggapi pertanyaan JPU tentang tujuan dirinya meminta bantuan pinjaman uang senilai Rp1 miliar kepada korban, A. Wijaya saat itu.

Terdakwa menyangkali sejumlah keterangan saksi-saksi yang menyatakan bahwa tujuan ia meminjam uang ke korban adalah untuk membayar tunggakan dana tunjangan kinerja (tukin) personil Brimob Polda Sulsel yang saat itu mendekat akan jatuh tempo.

“Itu tidak benar. Kalau memang itu ada silahkan tunjukkan bukti tertulis karena soal pembayaran tukin di internal kepolisian seluruh Indonesia itu dibayarkan 11 Mei sementara pinjaman saya terjadi 27 Mei 2018,” kata terdakwa, Yusuf.

Menurutnya, peminjaman uang kepada korban untuk keperluan mantan atasannya, Kombes Pol Totok Lisdiarto saat itu.

“Pak Kombes Pol Totok meminta bantuan pinjaman uang. Saya lalu pinjam ke A. Wijaya karena Kombes Totok itu selain mantan pimpinan juga kami sangat akrab,” terang terdakwa, Yusuf.

Jawaban terdakwa itu pun langsung ditanggapi oleh JPU dengan memperlihatkan bukti obrolan antara terdakwa dan korban via whatsapp dihadapan Majelis Hakim. Alhasil setelah melihat bukti obrolan itu, terdakwa tampak diam dan tak bisa mengelak.

Dalam bukti obrolan antara terdakwa dan korban yang diperlihatkan JPU tertulis dengan jelas alasan terdakwa meminta bantuan korban untuk dipinjamkan uang senilai Rp1 miliar yakni untuk keperluan pembayaran tunggakan dana tunjangan kinerja (tukin) personil atau untuk keperluan internal Brimob Polda Sulsel yang mendekat itu akan jatuh tempo.

Tak sampai disitu, keterangan terdakwa lainnya yang dinilai JPU masuk dalam unsur rentetan kebohongan, yakni keterangan terdakwa yang membantah keterangan saksi korban yang menyatakan bahwa terdakwa mengaku belum bisa mengembalikan uang korban yang ia pinjam sesuai yang dijanjikan tepatnya tanggal 1 Juni 2018, karena nego dengan KPPN II Makassar tidak dapat membantu.

Dimana sebelumnya menurut keterangan saksi korban dan bukti percakapan antara terdakwa dengan korban, tertulis bahwa terdakwa telah menemui KPPN II Makassar sekaligus menego terkait aturan dana belanja pegawai yang dibayarkan di hari kerja bulan berjalan yang ternyata dana masuk di rekening bendahara nanti Senin tanggal 4 Juni karena Jumat sampai Minggu KPPN libur.

“Itu tidak benar. Tidak ada kaitannya dengan KPPN. Percakapan saya ke korban saat itu bahwa saya coba nego dengan rekanan,” kata terdakwa, Yusuf.

Meski sempat berkilah, terdakwa akhirnya tak berkutik saat JPU memperlihatkan bukti obrolan terdakwa dengan korban via whatsapp terkait itu didepan Majelis Hakim.

Dimana dalam bukti obrolan tersebut dengan jelas tertulis bahwa terdakwa memang pernah mengatakan ke korban via whatsapp jika kendala pengembalian uang korban karena KPPN tidak bisa memproses kepentingan terdakwa.

Adapun pegawai yang dimaksud dalam bukti percakapan antara terdakwa dengan korban via whatsapp yang diperlihatkan oleh JPU, kata terdakwa, itu yang dimaksud adalah pegawai Brimob Polda Sulsel.

Terdakwa Sebut Keterlibatan Eks Dansat Brimob Polda Sulsel

Tak hanya membuktikan adanya unsur rentetan kebohongan, JPU juga dinilai mampu membuat terdakwa berterus terang menyebut adanya dugaan keterlibatan pihak lain dalam skandal ‘penipuan’ senilai Rp1 miliar tersebut.

Dimana sejak awal sidang agenda pemeriksaan terdakwa berjalan, terdakwa terus menyebut nama mantan atasannya, Kombes Pol Totok Lisdiarto.

Terdakwa mengaku bahwa uang yang ia pinjam dari korban A. Wijaya, diberikan kepada perwira berpangkat tiga bunga itu. Meski kepada korbannya, terdakwa sebelumnya beralasan jika tujuan meminjam uang ke korban guna kebutuhan menutupi tunggakan uang tukin personil atau kepentingan internal Brimob Polda Sulsel sebagaimana keterangan saksi-saksi dihadapan persidangan sebelumnya serta adanya bukti obrolan terdakwa dengan korban via whatsapp yang telah dijadikan oleh JPU sebagai bagian dari alat bukti.

Setelah korban memberikan uang senilai Rp1 miliar sesuai permintaan terdakwa, uang itu kemudian diberikan kepada Totok untuk digunakan berbisnis tanah.

“Setelah uang ditransfer, saya lalu berikan ke Kombes Pol Totok. Memang sejak awal dia sering meminta tolong. Dia mantan atasan kami dan sangat akrab dengan kami,” ungkap Yusuf menanggapi pertanyaan Majelis Hakim yang turut mempertanyakan kemana rimbanya uang yang didapatkan terdakwa dari korban.

Meski sejak awal terdakwa kerap menjelaskan keterlibatan Totok hingga mengaku bahwa uang yang dipinjam dari korban telah diberikan ke mantan atasannya itu, terdakwa tampak memasang badan jika semua kesalahan yang terjadi akibat perbuatannya sendiri.

“Kesalahan ini perbuatan saya Majelis,” jawab Yusuf saat itu menanggapi pertanyaan Majelis Hakim tentang siapa yang punya perbuatan sehingga menimbulkan kerugian bagi korban.

Setelah agenda sidang pemeriksaan terdakwa usai dilaksanakan, Majelis Hakim lalu menutup persidangan dan mengagendakan ulang tahapan sidang berikutnya dua pekan mendatang.

“Pembacaan tuntutan nanti tanggal 22 April 2019 yah. Ok sidang kita tutup dengan resmi dan akan dibuka kembali pada dua pekan mendatang,” ucap Zulkifli, Ketua Majelis Hakim perkara pidana dugaan penipuan dan penggelapan yang mendudukkan eks Bendahara Brimob Polda Sulsel, Iptu Yusuf Purwantoro di kursi pesakitan saat menutup sidang.

Sekedar diketahui, dalam perkara dugaan pidana penipuan bernomor 115/Pid.B/2020/PN Mks, Jaksa Penuntut Umum sebelumnya mendakwa mantan Bendahara Brimob Polda Sulsel, Yusuf Purwantoro dengan ancaman Pasal 378 KUHPidana yang ancaman pidananya maksimal 4 tahun penjara.

Polisi berpangkat Inspektur Polisi Satu itu terjerat perkara dugaan penipuan saat ia menemui korbannya, A. Wijaya di Kabupaten Sidrap untuk meminta tolong dipinjamkan uang sebesar Rp1 miliar dengan alasan ingin membayar uang tunjangan kinerja (tukin) seluruh personil Brimob Polda Sulsel yang sebelumnya telah ia gunakan guna kebutuhan lain.

Karena mengingat terdakwa merupakan kawan sekolahnya dulu, korban pun memberikan bantuan dana sesuai yang diminta oleh terdakwa melalui via transfer.

Namun belakangan uang yang dipinjam tersebut, tak kunjung dikembalikan oleh terdakwa hingga batas tempo yang dijanjikan. Terdakwa malah belakangan terus menghindar dengan memutuskan komunikasi dengan terdakwa. “Itikad baiknya hingga saat ini memang sudah tak ada,” kata korban, A. Wijaya.

Atas perbuatan terdakwa, selain menanggung kerugian besar, korban juga malu dengan keluarganya khususnya tantenya yang meminjamkan uang kepadanya.

“Uang yang saya berikan ke terdakwa itu uangnya tante dari hasil gadai sertifikat rumah di Bank. Jadi karena perbuatan terdakwa, saya harus menanggung beban membayar uang Bank,” terang Wijaya.

Ia berharap Majelis Hakim nantinya bisa menghukum terdakwa dengan hukuman maksimal agar kedepannya, terdakwa tak lagi mengulangi perbuatannya.

“Saya hanya minta keadilan kepada Majelis Hakim nanti agar terdakwa yang nota bene seorang penegak hukum bisa diganjar dengan hukuman berat karena dia telah menipu kami masyarakat kecil begini. Jaksa juga saya harapkan berikan tuntutan maksimal karena dalam fakta sidang unsur perbuatan pidana yang dituduhkan ke terdakwa itu sudah terpenuhi sempurna,” ungkap Wijaya

Selain pengakuan beberapa saksi tentang adanya peminjaman uang yang dilakukan terdakwa kepada korban senilai Rp1 miliar itu terungkap di dalam persidangan, juga adanya dukungan alat bukti lainnya berupa bukti transferan uang hingga salinan percakapan via pesan singkat terkait peminjaman uang oleh terdakwa ke korban yang dihadirkan JPU ke persidangan sebelumnya.

“Kami harap sekali lagi agar Majelis Hakim nantinya bisa memberi hukuman berat kepada terdakwa sebagaimana perbuatan terdakwa terbukti jelas dalam persidangan dan telah merugikan kami ini rakyat kecil,” Wijaya menandaskan.