Beranda Opini Hati-hati, Melanggar PSBB Bisa Dipidana

Hati-hati, Melanggar PSBB Bisa Dipidana

HERALDMAKASSAR – Jika kita mengacu pada Permenkes Nomor 9 Tahun 2020 memang tidak diatur secara jelas soal sanksi pidana terhadap pelanggar PSBB di suatu wilayah.

Dalam Pasal 18 Permenkes 9 tersebut hanya mengatakan, “Dalam rangka pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar, instansi berwenang melakukan penegakan hukum sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan”.

Salah peraturan perundang-undang yang terkait dengan penegakan hukum PSBB tersebut adalah UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Dalam Bab XIII UU Nomor 6/2018 tentang Ketentuan Pidana, tepatnya pada Pasal 92, 93, 94 untuk menjerat pelanggar yang mengabaikan kebijakan PSBB. Pasal 93 diatur mengenai sanksi pidana bagi orang yang tidak mematuhi atau menghalang-halangi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan.

Pasal 93 tersebut berbunyi, “Setiap orang yang tidak mematuhi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dan/atau menghalang-halangi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sehingga menyebabkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)”.

Pasal 9 ayat (1) menyebutkan, “Setiap orang wajib mematuhi penyelenggaraaan kekarantinaan kesehatan”.

Dalam Pasal 93 UU 6/2018, memang tidak menyebutkan sanksi atas pelanggaran PSBB, namun sanksi atas pelanggaran kekarantinaan kesehatan. PSBB dipahami sebagai salah bentuk perwujudan dari kekarantinaan kesehatan sehingga pelanggaran terhadap PSBB bisa menggunakan Pasal 93, dengan sanksi pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Diketahui, kekarantinaan Kesehatan adalah upaya mencegah dan menangkal keluar atau masuknya penyakit dan/atau faktor risiko kesehatan masyarakat yang berpotensi menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat (Pasal 1 poin 1 UU Nomor 6/2018).

Sementara Pembatasan Sosial Berskala Besar adalah pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi. (Pasal 1 poin 11 UU Nomor 6/2020).

Untuk dapat membuktikan suatu tindak pidana nanti cukup membuka pergub/perwali/perbup yang mengatur secara teknis tentang penyelenggaraaan PSBB kota/kab/provinsi tersebut dikaitkan dengan perbuatan pelaku apakah masuk sebagai pelanggar atau tidak.

Untuk konteks Makassar dalam dokumen Perwali nantinya juga dapat mengikutkan Pasal 212, 216, dan 218 KUHP bagi para pelanggar PSBB. Berikut bunyi masing-masing ketiga pasal itu:

1. Pasal 212 KUHP
“Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan melawan seorang pejabat yang sedang menjalankan tugas yang sah, atau orang yang menurut kewajiban undang-undang atau atas permintaan pejabat memberi pertolongan kepadanya, diancam karena melawan pejabat, dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”.

2. Pasal 216 KUHP
“Barang siapa dengan sengaja tidak menuruti perintah atau permintaan yang dilakukan menurut undang-undang oleh pejabat yang tugasnya mengawasi sesuatu, atau oleh pejabat berdasarkan tugasnya, demikian pula yang diberi kuasa untuk mengusut atau memeriksa tindak pidana; demikian pula barang siapa dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi atau menggagalkan tindakan guna menjalankan ketentuan undang-undang yang dilakukan oleh salah seorang pejabat tersebut, diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak sembilan ribu rupiah”.

3. Pasal 218 KUHP
“Barang siapa pada waktu rakyat datang berkerumun dengan sengaja tidak segera pergi setelah diperintah tiga kali oleh atau atas nama penguasa yang berwenang, diancam karena ikut serta perkelompokan dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak sembilan ribu rupiah”.

PENULIS:

SULAIMAN SYAMSUDDIN

Praktisi Hukum