Beranda Opini Covid19 merebak, Bagaimana nasib Napi di Indonesia?

Covid19 merebak, Bagaimana nasib Napi di Indonesia?

SUPRIANSA

HERALDMAKASAR – Ada tiga hal penting yang kita dengarkan dari kalangan pimpinan negeri (Presiden RI dan semua Gubernur) dan kalangan ulama: himbauan agar kita semua melakukan sosial distancing, menjaga kebersihan diri dan menunda pelaksanaan shalat jumat dan kegiatan ibadah lainnya.

Sambutan para pejabat negara (Menteri/Kepala Daerah) dan pengusaha serta kalangan pendidik adalah: melakukan kerja dan belajar dari rumah, serta mengurangi perjalanan kemanapun. Di banyak tempat umum, di bandara dan tempat umum, dibuat jarak-jarak orang berdiri dan duduk (1-2 meteran). Di banyak kawasan shalat Jumat ditiadakan dan jika ada, dilakukan opembersihan/penyemprotan. Pemeriksaan suhu dan pemakaian hand-zanitiaser dilakukan di tempat-tempat umum.

Lalu bagaimana dengan lembaga pemasyarakatan dan rutan-rutan? Kita sama membaca dan paham situasi lapas dan rutan yang semuanya dalam kondisi over-capacity. Untuk mencegahnya Covid-19 — kita sama membaca bahwa ‘kunjungan keluarga’ ditiadakan.
Tapi apakah ada jaminan bahwa petugas/pejabat lapas/rutan tidak membawa covid-19? Mereka tetap pulang ke rumah dan lingkungan di luar lapas. Bukankah beberapa dokter yang menyiapkan diri dengan paripurna (memakan vitamin, menggunakan APD dan Masker N-59) sudah dikabarkan positif covid-19.

Hari Jumat kemarin — saya mendapat laporan dari beberapa lapas — shalat Jumat tetap berlangsung di dalam lapas. Harusnya Dirjen Pemasyarakatan memiliki sikap tegas soal ini (melarang sholat Jumatan jika tidak ada jaminan bahwa kontak fisik tidak memiliki potensi pesebaran virus corona).

Social-distancing tak mungkin dilaksanakan di dalam lapas/rutan. Mengingat sel-sel di dalam lapas dan rutan dalam posisi over-capacity. Kedua apakah cukup ada jaminan urusan bersih-bersih di sana, mengingat keterbatasn fasilitas mandi dan sarana pendukung lainnya.

Jika Dirjen Pemasyarakatan/Kementerian Hukum dan HAM melihat atau menyikapi ini sebagai bisnis as usual (berjalan biasa-biasa saja) — maka sekali virus covid-19 masuk ke lapas, maka akan ada potensi ‘ledakan-kematian’ dalam jumlah ratusan hingga ribuan dalam sekali rentang waktu dan ruang. Ibarat ya kita melihat ada rumah terbakar di dekat gudang amunisi dankita membiarkan kebakaran itu dan tidak ada pemikiran untuk memadamkannya.

Mungkin potensi ini sudah dibaca pelaksana kebijakan penjara di Iran dan Walikota New York Amerika Serikat (bisa dilihat link beritanya) — untuk itu mereka melepaskan sejumlah tahanan. Mungkin saatnya dibuat rencana mitigasi terkait soal ini. Mungkin penjahat ringan dilepaskan, sesudah diberi tugas membersihkan semua karpet dan lantai sertadi dinding-dinding lapas. Pemakai shabu-shabu dimohonkan grasi ke presiden kalau sudah menjalankan 1/2 masa hukumannya.

Para tahanan yang jelas alamat dan jaminan keluarganya, bisa dibantarkan dan dikembalikan ke lapas jika wabah Covid-19 sudah berlalu.
Ini sangat penting untuk di pikirkan terutama kepada pejabat terkait.
Lapas dan Rutan yang sudah agak longgar memungkinkan para bandar narkoba dan penjahat kriminal kelas kakap (perampok dengan kekerasan, kasus pembunuhan) dan lainnya yang divonis mati — melakukan social distancing.

PENULIS:

SUPRIANSA, SH, MH

Anggota Komisi 3 DPR RI dari Fraksi Partai Golkar