HERALDMAKASSAR.com – Pertarungan memperebutkan kursi walikota Makassar, kian menarik dicermati. Hingga enam bulan jelang pemilihan, belum ada satupun kandidat yang bisa mengumpulkan koalisi parpol untuk menggenapkan syarat dukungan.
Hampir semua partai politik memberi syarat khusus agar partainya bisa dijadikan tiket masuk ke Komisi Pemilihan Umum (KPU). Salah satunya, yakni mensyaratkan untuk berpaket dengan kader.
Partai Golkar misalnya, berani menyatakan akan keluar dari koalisi yang dibuat Danny Pomanto jika tidak berpasangan dengan anak Ketua DPD I Partai Golkar Sulsel, Zunnun. Sementara Golkar hanya memiliki 5 kursi DPRD Makassar alias baru memenuhi 50% dari syarat pencalonan.
Di Partai Nasdem, Ketua DPW Partai Nasdem Rusdi Masse juga mengunci agar Danny Pomanto berpake dengan Irman Yasin Limpo jika ingin menggunakan partainya. Jika tidak, partai besutan Surya Paloh ini, juga tidak segan-segan meninggalkan Danny.
Begitupun dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjungan. Partai besutan Megawati Soekarnoputri itu menyodorkan Dokter Onasis atau kadernya Andi Yagkin Padajalangi jika ingin menggunakan partai ini.
Saling kunci partai politik ini, menjadi fenomena baru dalam perpolitikan lokal di Kota Makassar. Ini terjadi karena tidak adanya partai yang menjadi pemenang mayoritas dalam pemilihan legislatif lalu.
Akibatnya, parpol saling menyandera. Egoisme parpol juga kian terasa karena tidak mempertimbangkan aspek kemampuan kandidat yang akan diusung. Aji mumpung menjadi pilihan utama dalam menentukan kandidat wakil walikota.
Lihat saja Partai Golkar. Partai yang dulu menjadi mesin politik orde baru ini menajadi sangat kerdil dan tidak lagi mempertimbangkan aspek kaderisasi partai dalam menentukan calon walikota.
Demi seorang anak, Golkar rela mengusung Danny Pomanto yang tidak lain adalah kader Partai Nasdem. Tentu, ini bukan “budaya” Golkar sejak dulu. Rela menjadi 02, lalu mengusung kader partai lain menjadi posisi 01.
Apakah ini menjadi sinyal “Golkar Diambang Senja”? Hanya publik yang bisa menjawabnya. Yang pasti, kegarangan dan kewibawaan partai tertua di Indonesia itu menjadi pudar akibat salah mengambil keputusan. (TIM HERALD)