Beranda Opini Opini : Kawasan Pasifik Pasca Putusan MK

Opini : Kawasan Pasifik Pasca Putusan MK

HERALDMAKASSAR.COM – Momen 27 Juni 2019 mungkin paling ditunggu oleh rakyat Indonesia dalam waktu dekat ini. Setelah proses persidangan dengan segala kejutannya, masyarakat menunggu titik balik dari semua yang telah dipertontonkan elit politik Indonesia. Semua sadar akan ada yang menang dan yang dinyatakan kalah, namun sepertinya semua bersepakat untuk memastikan kelangsungan keamanan dan stabilitas dalam negeri serta regional pasca kontestasi pemilu yang sekian lama panjangnya. Harapan akan masa depan negara pasca Pemilu 2019 digambarkan dengan meredupnya eskalasi segregasi di akar rumput, paling tidak ini yang nampak di media sosial. Hal ini juga terjadi pasca Tempo mempublikasi liputan tentang harga rekonsiliasi Jokowi dan Prabowo (Tempo: Kepala Intel dan Rekonsiliasi 212).

Proses pendinginan situasi ditanggapi berbeda dari dua influencer kubu BPN, Dahnil Anzar Simanjuntak dan Faldo Maldini. Dahnil menepis penggunaan diksi rekonsiliasi, karena menurutnya tidak ada yang berkonflik, yang ada hanya kontestasi pemilu. Faldo lebih cenderung sependapat dengan Tempo, rekonsiliasi harus menjamin azas kemanfaatan terhadap kelompok politik yang berkontestasi. Karena bagaimanapun semuanya adalah bagian terbaik dari bangsa ini. Namun perlu digarisbawahi bahwa tidak semua kebijakan menyenangkan segala pihak. Batasannya jelas, yaitu mampu bersinergi secara positif dengan Kepala Negara dan tim lainnya. Selain itu, perlu dilakukan pengecekan ketat terhadap potensi makar dan anti-Pancasila yang sebelumnya saling memboncengi.

Kepala KSP, Jend. TNI (purn.) Moeldoko juga mengantisipasi info intelijen sekitar 30 orang terduga teroris yang masuk ke Jakarta menjelang pembacaan putusan (liputan Detik.com). Jaminan keamanan dan stabilitas ibukota menjelang pembacaan putusan MK, menjadi salah satu tiket untuk memastikan _take-off_ yang baik bagi calon kepala negara setelah ini. Dengan begitu kondisi ekonomi dan kepastian hukum atas investasi di dalam negeri juga dapat terjaga.

Konektivitas menjadi kata kunci yang disampaikan oleh Presiden Jokowi pada saat menyampaikan pidato pada KTT Brunei Darussalam-Indonesia-Malaysia-Philippines – East ASEAN Growth Area (BIMP-EAGA) ke-13 di Bangkok, 23 Juli lalu. Konektivitas yang dimaksud bukan saja infrastruktur tetapi juga konektivitas teknologi, termasuk perkembangan ekonomi digital yang menjadi sektor yang dipacu oleh Indonesia belakangan ini. Kerjasama multilateral regional ASEAN Timur ini penting digalakkan mengingat keikutsertaan Indonesia dalam Belt and Road Initiative (BRI) yang digagas China. Indonesia tidak perlu sebegitu takutnya dengan menghindari kerjasama internasional, apalagi dengan China. Jika harus berkaca dengan jebakan hutang yang terjadi pada negara Angola, Zimbabwe, Nigeria, Sri Lanka (liputan Kompas.com); Indonesia memiliki rasio utang terhadap PDB per bulan Februari 2019 sebesar 30,33 persen. Angka ini dianggap aman untuk dapat memaksimalkan investasi BRI (China) bagi kepentingan Indonesia.

Narasi Indopasifik sebenarnya dipakai sebagai proposal Indonesia tentang bagaimana mendorong arsitektur regional yang terbuka dan transparan, berdasarkan hukum internasional serta prinsip-prinsip yang terkandung dalam Traktat Kerja Sama dan Pertahanan Asia Tenggara (TAC), serta sejalan dengan Prinsip Bali yang dihasilkan Konferensi Asia Timur. Hal ini disampaikan oleh Menteri Luar Negeri Indonesia, Retno Marsudi pada ASEAN Foreign Ministers Retreat (AMM Retreat) di Singapura, Februari tahun lalu (liputan CNN Indonesia). Namun pengistilahan yang sama juga telah disampaikan oleh Amerika Serikat untuk membendung kekuatan China dengan menyuntikkan gagasan perang dingin ke dalamnya.

Pasca gesekan tajam armada Huawei milik China dengan senjata 5G-nya melawan 4G Android milik Amerika Serikat, Donald Trump kembali dipusingkan dengan konfrontasi melawan Iran. Walaupun politik keamanan internal Amerika Serikat masih terus dipakai untuk menajamkan kuku _post-truth_ ala Trump. Namun kondisi ini perlu diantisipasi oleh Indonesia sebelum serangan sebenar-benarnya terjadi.

*Indonesia sebagai Macan Pasifik*
Konsep Indopasifik butuh kematangan untuk dapat dimanfaatkan bagi kejayaan Indonesia. Presiden Jokowi berulangkali menyampaikan tentang penguatan potensi maritim Indonesia. Letak dan keadaan geografis Indonesia yang sejak dahulu dipuja-puji berbagai negeri, sudah semestinya menjadikan Indonesia sebagai kekuatan baru di kawasan Pasifik. Sebagai salah satu dari 7 negara _emerging markets_ yang akan menguasai ekonomi dunia pada 2030 menurut Bloomberg (liputan bisnis.com), Indonesia diperhadapkan dengan dua negara lainnya di kawasan Pasifik, yaitu China dan Amerika Serikat. Senjata utama Indonesia adalah kemampuan kerjasama yang baik dengan kedua belah pihak. Kepemimpinan yang handal dari kepala negara Indonesia dipandang dapat memperkuat posisi tawar Indonesia dalam skema kerjasama Belt-Road Initiative (BRI) maupun proposal Indopasifik. Hal ini sesegera mungkin dapat terjadi ketika kita secara bersama-sama dapat mengawal kepastian hukum pasca pengumuman putusan MK. Jangan sampai ada celah intelijen asing melemahkan kekuatan Indonesia saat ini, dengan memanfaatkan polarisasi elit dan rakyat Indonesia pasca pemilu. Ayo kawal hasil putusan MK!

Alan Christian Singkali
alansingkali29@gmail.com
_Jubir Milenial TKN Jokowi-Ma’ruf