HERALDMAKASSAR – Tim Kajian Banjir Sulsel yang dipimpin Dr Ir Syamsu Rijal SHut msi IPU, membeberkan penyebab banjir yang melanda sejumlah kabupaten beberapa waktu lalu. Tim yang dibentuk Gubernur Sulsel Nurdin Abdullah ini juga memberikan rekomendasi mengenai metode pencegahan yang bisa dilakukan pemerintah.
Syamsu Rijal menjelaskan, ada beberapa penyebab terjadinya banjir. Antara lain, alih fungsi lahan dan deforestasi khususnya di hulu dan tengah DAS dan curah hujan yang ekstrem. Selain itu, ada kondisi eksisting berupa tutupan lahan, konfigurasi lahan/kelerengan, kondisi sungai (pendangkalan) yang mendukung terjadinya banjir, hunian bantaran sungai, sistem drainase dan tampungan air yang tidak ada/memadai.
“Naiknya permukaan air laut juga memberikan kontribusi sebagai penyebab banjir,” kata Syamsu Rijal, saat melakukan ekspose di Baruga Lounge, Kantor Gubernur, Rabu (20/3).
Ia memaparkan, data curah hujan yang tercatat pada beberapa stasiun hujan terdekat menunjukkan kedalaman melebihi 300 mm/hr atau digolongkan sangat ekstrem. Kemudian, air bendungan Bili-bili mendekati elevasi maksimal diatas 103 meter.
“Sejumlah DAS juga dalam kondisi yang sangat kritis. Mulai dari DAS Jeneberang sampai DAS Kelara,” ungkapnya.
Dosen Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin ini memberikan sejumlah masukan mitigasi. Di wilayah hulu DAS misalnya, bisa dilakukan kegiatan mekanik/teknis dan vegetatif, rekayasa teknik berupa penambahan bangunan konservasi (embung dan sabo dam), pembuatan terasering yakni mengendalikan aliran permukaan dan erosi.
“Bisa juga dibuat rorak untuk meresapkan air ke dalam tanah serta menampung sedimen dari bidang olah, membuat biopori, rehabilitasi riparian, serta sistem agroforestry – perhutanan sosial,” urainya.
Sedangkan di wilayah tengah DAS, mitigasi bisa dilakukan dengan bangunan konservasi seperti wilayah hulu DAS, perlu dibangun DAM konsolidasi, groundsill dan sand pocket khususnya Jeneberang, membuat tampungan banjir berupa waduk/embung, normalisasi aliran Sungai Jeneberang dan pengerukan bendungan secara berkelanjutan.
“Di wilayah tengah juga perlu dilakukan penanaman tanaman konservasi sepanjang aliran sungai yang rawan longsor. Seperti bambu, rumput vetifer atau akar wangi, beringin, dan rumput gajah,” paparnya.
Sedangkan di wilayah hilir, direkomendasikan untuk dilakukan implementasi penataan ruang dan zonasi wilayah, pembangunan situ/waduk retensi, sumur resapan, dan biopori. Wilayah sempadan sungai sebagai bantaran banjir yang telah dihuni masyarakat perlu direlokasi ke wilayah yang lebih aman.
“Perbaikan tanggul yang rusak, perlu segera dilakukan. Kemudian, penanaman pada wilayah riparian di luar kawasan permukiman, sistem drainase di wilayah cekungan, dan pembangunan early warning system pada wilayah dampak terkait kebencanaan dengan melibatkan provider telekomunikasi dan sistem informasi lainnya,” terangnya.
Tim ini juga memberikan sejumlah rekomendasi. Seperti, pengembangan industri pengolahan skala kecil dan menengah pada desa di hulu DAS, dengan memanfaatkan komoditi yang dihasilkan petani sebagai bahan bakunya. Program pengembangan sektor jasa, antara lain usaha ekowisata dan agrowisata serta perdagangan skala desa.
Program pengembangan database yang mencakup aspek lahan, sosial, dan ekonomi rumah tangga yang berbasis permukiman (kampung) kepada semua petani, program percepatan implementasi perhutanan sosial untuk memberikan kepastian hak kelola masyarakat dalam kawasan hutan.
Rekomendasi lainnya adalah kebijakan subsidi untuk pengembangan hutan rakyat serta meniadakan subsidi bagi usaha tani non konservatif, kebijakan kompensasi jasa lingkungan air, serta kebijakan pemberian subsidi dan dukungan pendanaan kepada petani yang melaksanakan kegiatan konservasi.
(RILIS HUMAS)