HERALDMAKASSAR.com – Dua puluh tahun pasca lengsernya orde baru, corak demokrasi kita hingga saat ini belum aman dari berbagai tindakan anarkisme bahkan melanggar hukum yang disebabkan karena “amarah”, yang tak terkendali. Hal ini tentu amat kita sayangkan karena tidak sesaui dengan semangat reformasi.
Kehadiran reformasi sendiri menjadi harapan bagi masyarakat Indonesia akan adanya perubahan yang lebih baik dalam bidang ekonomi, sosial, budaya, dan termasuk politik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Padahal demokrasi menghendaki kesetaraan dan persaudaraan. Kesetaraan dalam arti setiap warga negara memiliki hak yang sama untuk mengemukakan pendapatnya di muka umum, tanpa harus menghilangkan semangat persaudaraan diantara warga negara. Karena hakikat dari demokrasi adalah suatu upaya memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada seluruh rakyat Indonesia untuk memilih seorang pemimpin yang dipercayai dapat menjadi nahkoda bangsa ini lima tahun ke depan, dengan tujuan agar dapat mencapai kesejahteraan, ditopang oleh keadilan dan kemakmuran.
Sayangnya pemahaman mayoritas masyarakat kita terhadap demokrasi masih pada tataran “demokrasi basa-basi”, jauh dari subtansi.
Akibat dari pemahaman yang seperti inilah kemudian melahirkan tindakan-tindakan yang dapat memicu terjadinya kekacuan dan gangguan kantibmas, terutama berasal dari kelompok yang merasa tidak puas dari hasil suatu pemilihan.
Karena itu, kita berharap ke depan para elit bangsa ini, sesuai dengan tupoksinya, bisa memberikan pendidikan politik kepada masyarakat secara kontinu dan komprehensif, sehingga masyarakat kita ke depan semakin dewasa di dalam berdemokrasi. Walhasil, efek dari kedewasaan ini, kemudian lahirlah demokrasi tanpa ‘amarah”.
Oleh: Dr. H. Abdul Wahid, MA (Dosen dan Staff Ahli Agama Kapolda Sulsel)