Beranda Opini OPINI: Budaya Siri’ Na Pacce Dalam Konteks Demokrasi

OPINI: Budaya Siri’ Na Pacce Dalam Konteks Demokrasi

Radhie Munadi.

HERALDMAKASSAR.com – Siri’ na Pacce merupakan prinsip hidup bagi suku Makassar. Beberapa definisi siri’ na pacce telah dikemukakan oleh beberapa para pakar budaya dan adat. Diantara definisi tersebut penulis menggolongkannya ke beberapa golongan yakni:

  1. Siri’ yang bermakna suatu perasaan malu.
  2. Siri’ yang dapat meningkatkan motivasi seseorang untuk bekerja.
  3. Dan siri’ yang berarti malu-malu (siri’-siri’).

Semua jenis siri’ tersebut dapat diartikan sebagai harkat, martabat, dan harga diri manusia, khususnya harga diri masyarakat Sulawesi Selatan.

Jenis siri’ yang pertama dimaksudkan seseorang akan merasa malu jika melakukan perbuatan yang buruk bahkan dapat merugikan orang lain. Sedangkan jenis siri’ yang kedua adalah siri’ yang dapat memberikan motivasi untuk meraih sukses. Misalnya, kalau melihat orang lain sukses atau daerah lain sukses, kenapa kita tidak? Contoh yang paling konkrit, suku Makassar biasanya banyak merantau ke daerah mana saja. Sesampai di daerah tersebut mereka bekerja keras untuk meraih kesuksesan. Kenapa mereka bekerja keras? Karena mereka nantinya malu bilamana pulang kampong tanpa membawa hasil. Salah satu ungkapan Makassar berbunyi:

Bajikangngangi mateya ri pakrasanganna taua nakanre gallang-gallang na ammotere natena waaselekna” ( lebih baik mati di negeri orang dimakan cacing tanah, dari pada pulang tanpa hasil).

            Maksud ungkapan diatas bermakna bahwa kalau merantau di kampung orang lalu pulang tanpa hasil, akibatnya akan dicemohkan oleh masyarakat di daerahnya, tapi kalau ia meraih sukses, maka ia dapat dijadikan teladan bagi masyarakat lainnya. Jika ungkapan diatas ditarik kepada para legislator pusat yang berasal dari wilayah Sulawesi Selatan, sudah seharusnya amanah yang telah dipercayai buat mereka ia jaga dengan sebaik-baiknya dan tidak mempermalukan masyarakat Sulawesi Selatan pada umumnya dengan melakukan korupsi, Kolusi dan Nepotisme atau lebih dikenal dengan istilah KKN. Serta amanah yang diberikan itu memberikan dampak positif bagi daerah pemilihannya secara khusus baik dari segi pembangunan daerah, dan kesejahteraan rakyat. Hal itu dapat dilaksanakan jika ada koordinasi yang baik antara pihak legislatif selaku anggota parlemen dan pihak eksekutif selaku aksekutor di lapangan.

Selanjutnya jenis siri’ yang ketiga adalah siri’ yang berarti malu-malu. Siri’ seperti sebenarnya ada akibat positif dan negatif nya. Misalnya seseorang mempunyai bakat dan keahlian dalam berdemokrasi lantas ditunjuk oleh masyarakat untuk mewakili masyarakat di parlemen, lantas dengan alasan malu-malu ia menolak, maka hal ini dapat menimbulkan rasa kecewa terhadap masyarakat. Sebaliknya akibat positif dari siri’siri’ ini, misalnya seorang pemimpin atau anggota legislative disuruh untuk melakukan korupsi, lalu dengan tegasnya ia menolak itu dengan alasan ia memegang teguh falsafah Makassar yakni siri’ siri’, dikarenakan amanahnya dapat membuat malu keluarga dan dirinya sendiri jika ia melakukan hal tersebut.

Selanjutnya istilah pacce digunakan dalam budaya Makassar sebagai makna perasaan pedih dan perih dirasakan meresap dalam kalbu seseorang karena melihat penderitaan orang lain, dengan kata lain pacce ini bermakna kepekaan terhadap suatu masalah.

Dari pengertian diatas, maka jelaslah bahwa pacce itu dapat memupuk persatuan dan solidaritas antar masyarakat agar mau membantu seseorang atau sekolmpok masyarakat yang mengalami kesulitan. Sebagai contoh dalam realita sekarang, jika sebuah desa terpencil masih kekurangan sarana irigasi air bersih dan selama itu hanya mengkonsumis air dari sungai sebagai air minum, maka pihak pemerintah juga anggota masyarakat lainnya harus tanggap dan peka untuk membantu memvasilitasi irigasi air bersih. Budaya pacce seperti inilah yang patut ditanamkan kepada seluruh pemerintah dan anggota masyarakat pada umumnya.

Antara siri’ na pacce ini keduanya harus saling mendukung satu sama lain, terlebih dalam konteks pesta demokrasi yang akan dilaksanakan kedepan ini. Seorang calon legislatif dan calon presiden yang berkampanye dan mengumbar program kerja dan janji buat masyarakat harus menanamkan falsafah siri’ na pacce ini sebagai budaya Makassar yang harus dijaga dan ditanamkan dalam dirinya. Jika ia memegang teguh falsafah ini maka sudah sepatutnya ia mengimplementasikan janjinya dan bukan janji palsu demi kebutuhan suara baginya.

Calon legislatif dan calon presiden harus siri’ jika ia terpilih lantas perlakuannya memalukan masyarakat Makassar pada umumnya dan terlebih pada keluarga dan dirinya sendiri. Juga ia harus berprinsip pacce terhadap apa yang menjadi kekurangan dan masalah dalam masyarakat Indonesia pada umumnya dan Sulawesi Selatan pada khususnya. Jika seorang legislator dan presiden nanti memilki dan menanamkan budaya pacce ini, maka dapat dipastikan demokrasi substansial yang menjadi kekurangan dan kebutuhan masyarakat pada saat ini dapat terwujud.

Lantas sekarang, kita lah semua yang menentukan kemajuan bangsa ini dengan memilih calon legislatif dan calon presiden yang memiliki dan menanamkan budayasiri’ na pacce demi kemajuan Negara dan daerah tercinta kita ini. Serta demi kesuksesan dan kesejahteraan rakyat Indonesia menuju masyarakat yang cerdas, sehat dan makmur yang merupakan pilar demokrasi substansial.

Penulis: Radhie Munadi (Peserta Sekolah Demokrasi Gowa Angkatan II 2014 )