Beranda Opini Memaknai Lebaran Nurdin Abdullah di Palopo

Memaknai Lebaran Nurdin Abdullah di Palopo

Nurdin Abdullah (NA) memilih lebaran di Masjid Agung Palopo, bukan tanpa maksud. Palopo sebagai jantung kota Luwu memberi arti penting bagi di Pilkada Sulsel kali ini. Betapa tidak, dua putra terbaiknya yang masih bersaudara, bersaing di posisi calon wakil gubernur (cawagub) untuk masing-masing mendampingi Nurdin Halid (NH) dan Ichsan Yasin Limpo. NH didampingi Abdul Aziz Qahar Muzakkar, sementara Ichsan maju bersama Andi Mudzakkar alias Cakka.

Mungkin karena faktor suara duel dua bersaudara itu sulit dibendung di daerah asal mereka, NA memilih Lebaran di Palopo. Minimal, NA harus membangun kedekatan dengan masyarakat Luwu. Potensi suara warga Luwu terpecah, sudah pasti terbagi kepada kedua putra daerahnya, duel Aziz vs Cakka. Tapi bukan berarti pundi suara kandidat lain harus kosong dari lumbung suara duel Aziz vs Cakka.

Memilih untuk Lebaran di Palopo, NA ternyata tak memainkan perannya sebagai kandidat pilkada. Ia lebih memilih berbaur dengan masyarakat sebagai warga biasa. Soal yang beginian, bukan hal baru bahi dia. Selama dua periode sebagai Bupati Bantaeng, dia memang lebih banyak menerima dan menemui masyarakat di rumah, di sawah, ladang, gunung, dibanding di kantor bupati. Ia berbagi peran dengan wakilnya yang lebih banyak menjaga gawang.

Peran sebagai warga biasa terlihat saat ia berada di Palopo. Ia memilih berjalan kaki dari hotel tempatnya menginap ke Masjid Agung Palopo. Dari Hotel Platinum ke Masjid Agung Palopo, kira-kira berjarak 400 meter.

Saat Lebaran, ia hanya ditemani seorang ajudan bernama Syamsul dan kerabatnya, Bunyamin Arsyad. Di sepanjang jalan, NA pun menerima banyak sambutan warga. Berjalan pun, ia memilih berbaur dengan pejalan kaki lainnya.

Di masjid, Cagub Sulsel yang dijuluki Prof Andalan ini pun tak tanpak di jejeran depan jamaah. Ketika dipersilakan ke saf paling depan oleh Alfri Jamil, Ketua DPD PDIP Palopo, Bupati Bantaeng bergelar profesor ini lebih memilih berbaur dengan jamaah lainnya di saf tengah.

Padahal, di saf tepat belakang imam, ada Pjs Wali Kota Palopo Andi Arwin, petahana Pilwalkot Palopo Judas Amir, dan kandidat lain, Ahmad Syarifuddin alias Ome. Ada juga Kapolres setempat, Dandim dan pejabat teras Kota Palopo.

Gaya NA memang khas dengan blusukannya, bahkan sebelum istilah itu dipopulerkan oleh Presiden Jokowi, ia sudah melakukannya. Sederhana, tawadhu, dan merakyat adalah gaya kepemimpinannya selama menjadi bupati Bantaeng.

Ketua Tim Pemenangan NA di Luwu Raya, Edy Maiseng menyebut gaya Nurdin ini cenderung lebih bisa diterima publik ketimbang menggelar acara kampanye akbar di lapangan.

Pola kampanye Nurdin cenderung senyap, lebih memilih blusukan dan mendengarkan keluhan warga. Di Hotel Platinum Palopo, ia lebih banyak mendengarkan curhat warga yang silih berganti datang ke lobi hotel.

Memaknai Lebaran Nurdin di Palo, saya memaknai dia lebih memilih menjadi objek, bukan subjek. Pola komunikasinya, dua arah dan bottom-up, bukan satu arah. Ia adalah tipe pemimpin yang dicari.

Kesederhanaannya melekat dan memikat. Itu saya dapatkan saat dua malam menginap di rumah jabatan beliau di Bantaeng, dalam tugas peliputan sebagai Tokoh People of The Year Koran SINDO, beberapa tahun silam. Selama dua hari malang melintang di Bantaeng, gaya kepemimpinannya menakjubkan.

Setiap pagi (secara terjadwal) ia menerima warga di rumah pribadinya, dan rumah jabatannya jadi tempat kegiatan dinas atau menerima tamu, sekaligus tempat untuk menginap para tamunya. Karena itu, saya tidak kaget kala melihat fotonya berada di saf tengah Masjid Agung Palopo yang beredar di media sosial, berbaur dengan warga. Itulah Prof Nurdin, pemimpin yang dekat dengan rakyat!

AZHAR AZIZ

Wartawan, berdomisili di Jakarta