POJOKSULSEL.com – Memiliki properti adalah suatu keniscayaan. Harganya yang tinggi kerap kali membuat orang menunda untuk membelinya hari ini. Akan tetapi perubahan harga yang selalu naik secara linier membuat konsumen utamanya kelompok milenial untuk tidak terlalu lama menunda. Semakin ditunda maka daya beli akan semakin tergerus.
Beberapa pengembang dan bank juga mulai melakukan inovasi mulai dari menawarkan down payment yang murah sampai cicilan bunga flat. Namun, calon pembeli terutama milenial harus berhati-hati dalam memilih. Jangan sampai terjebak pada jebakan promo bunga flat. Apa alasannya?
Country General Manager Rumah123, Ignatius Untung mengatakan banyak konsumen yang terjebak dalam ‘jebakan batman’ bunga flat. Padahal, bunga flat tidak selamanya alias hanya diberikan di awal-awal cicilan saja. Angka yang diberikan bank pun berbeda-beda. Namun, seringkali konsumen tak menyadari bahwa bunga flat diberikan untuk mensubsidi bunga pada masa cicilan floating.
“Contohnya misal ada bank yang kasih bunga flat dua tahun atau tiga tahun pertama. Misalnya diawal 5 persen bunga flatnya, lalu di tahun ke empat yang seharusnya bunga floatingnya cuma 8 persen ditambah jadi 10 persen. Nah ini bisa disebut sebagai subsidi silang,” tuturnya di 88 Office, Jakarta, Rabu (16/5/2018).
Di sisi lain, konsumen dan bank juga tidak dapat memastikan berapa suku bunga floating yang harus kita bayar, sebab hal itu sangat bergantung pada kebijakan moneter yang dikeluarkan Bank Indonesia. Namun, konsumen dapat mensiasatinya dengan cara lain.
Pertama, Ignatius menyarankan, apabila hendak membeli properti carilah bank yang menawarkan bunga flat sepanjang-panjangnya. Setidaknya tiga tahun masa berlaku bunga flat. Alasannya, kata Ignatius, tiga tahun adalah waktu yang cukup untuk mengembalikan daya beli.
“Kita pernah hitung ketika orang beli properti dalam tiga tahun daya beli kita akan balik karena ada kenaikan gaji. Sebisa mungkin kejar yang menawarkan bunga flat tiga tahun,” tuturnya.
Misalnya, saat ini gaji anda hari ini Rp 10 juta. Lalu membayar cicilan rumah dengan bunga flat sebesar Rp 3 juta per bulan. Otomatis uang yang tersisa di dompet anda tersisa Rp 7 juta. Ketika ada kenaikan gaji sebesar 10 persen per tahun. Maka gaji anda tiga tahun mendatang adalah Rp 13,3 juta per bulan. Dengan asumsi kenaikan gaji tersebut, maka daya beli anda masih tetap terjaga atau setidaknya sama dengan gaji yang anda punya hari ini.
Kedua, rajin bertanya dengan teman atau kerabat yang sudah memasuki masa-masa cicilan dengan bunga floating. Salah satu sumber JawaPos.com, Susan Silaban mengatakan saat membeli rumah pertama di Cileungsi, Bogor, ia membayar cicilan selama lima tahun dengan bunga flat yakni sebesar 8,75 persen dengan tenor 15 tahun. Namun, saat memasuki masa bunga floating Susan harus menanggung bunga sebesar 11,5 persen tiap bulan.
“Tanya yang sekarang floating berapa dan dulu berapa saat bunga masih flat dari situ kita punya gambaran berapa gapnya, biasanya naik. Tergantung BI rate,” jelas Susan.
Ketiga, konsumen harus perhatikan juga berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk akad. Hal ini kerap luput dan membuat syok pengeluaran. Biasanya saat akad calon konsumen harus dibebankan biaya notaris, pajak penjualan dan pembelian, biaya provisi dan biaya asuransi. Nilainya bisa lebih tinggi dari DP lho!
“Yang harus diedukasi, saat bayar DP kemudian kita enggak pernah menyangka ada biaya lain-lain yang harus dikeluarkan saat akad. Banyak calon pembeli yang gak siap sehingga nambah utang, KPR di bulan awal memang begitu. Biaya itu tidak bisa dihilangkan,” tuturnya.
(pojoksulsel)